Melawan Rasa Bersalah


          Tidak ada hal yang paling menyiksa selain teringat dengan kesalahan yang pernah kita perbuat. Apalagi kalau itu terjadi di depan orang lain, seakan-akan ingin kita mengoperai plastik wajah kita. Bertemu orang lain malu jadinya, saat sendirian masih juga terbayang, bahkan tidur juga terganggu. Perasaan ini menjadi siksaan batin bagi sejumlah orang, jadi untuk orang itu tidak bahagia jadinya.

Level paling parah dari perasaan semacam ini dinamakan trauma. Banyak orang yang tidak bisa hidup “normal” setelah mengalami kejadian tertentu. Usai perang biasanya banyak prajurit yang harus melewati masa terapi sebelum mereka bisa kembali hidup normal. Maklum, dentuman peluru, ledakan juga melihat ceceran darah menjadi pemandangan sehari-hari.

Perbuatan salah yang begitu dahsyat bisa membuat seseorang menjadi trauma. Jadi bagaimana ya?




Miliki perasaan bersalah


          Adanya perasaan bersalah pada diri seseorang adalah hal yang bagus. Istimewalah. Tidak semua orang mampu memilikinya. Adanya perasaan bersalah ini menunjukkan kalau seseorang masih memiliki perasaan malu dan takut. Itu juga berarti masih ada keimanan dalam hatinya. Jelas, karena mereka yang sudah hanyut dalam maksiat pastinya tidak ada lagi rasa menyesal atau sungkan dengan apa yang mereka kerjakan.

Ibarat kertas, perasaan bersalah datang dari hati yang bersih. Sehingga noda sekecil apapun akan tampak dan merusak pemandangan. Namun bila hati manusia dikuasai kejahatan maka hati telah menjadi hitam. Tidak ada pikiran dan persaan jernih pada manusia untk mencegah terulangnya perbuatan dosa. Hatinya sudah Imunne, kebal, dan terbiasa.

Syukurilah kerasahan hatimu dan dosa. Saat kamu belum menunaikan shalat, saat berbohong saat mengingkari janji dsb. Tidak semuanya orang bisa memiliki rasa bersalah seperti demikian. Perasaan bersalah yang ada di hatimu akan mendorongmu untuk menjauhi perbuatan negatifve dan menyegerakan dirimu untuk beristighfar, memohon ampunan dari Allah.

Langkah mengusir rasa bersalah


          Akan tetapi perasaan bersalah yang berlebihan adalah tekanan batin. Yang justru akan membuat orang tidak merasa bahagia. Membuat orang jadi putus asa dan tekanan batin. Karena itu persaan bersalah pun harus kamu kendalikan jangan sampai menjadi sebuah keputusasaan.

Nah ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari diri dari perasaan bersalah yang berlebihan yaitu :

1. Salah itu manusiawi lho!!!
Siapapun dia, klo itu manusia so pasti ga ada perfect, NO BODY PERFECT! Tak ada yang 100% bebas dosa lagi. Ada saja dosa yang kita gawein. Entah itu dosa kecil maupun dosa besar. Malah makin tinggi kedudukan seseoran, makin berkembang, so pasti godaan itu juga semakin banyak menerpa,

2. Akui jangan menutupi.
Nggak ada untungnya menutupi perbuatan yang jelek yang kita kerjakan. Segera akui dan jauhkan berbohong. Toh, Allah maha mengetahui segala perbuatan kita. Jadi percuma saja menutup-nutupinya.

Seandainya perbuatan itu menyangkut urusan dengan orang lain, segera datangi dan minta maaflah kepadanya. Meski mungkin akan pahit. Itu adalah harga kesalahan yang pernh kita kerjakan. Insyaallah perasaan kamu akan lebih lega setelah mengakui kesalahan tersebut dan allah akan tersenyum kepadamu.

3. Don’t worry, Allah maha pengampun
Jangan pernah menghakimi diri sendiri dengan berbagai perasaan bersalah. Padahal Allah bukan zat yang dzalim, yang menutupi kebaikan bagi kita, hamba-Nya. Selalu ada jalan pulang ke-jalanNya selama ajal belum menjemput dan dunia berakhir. Tentu saja pertobatan kita pada Allah haruslah dijalani dengan sungguh-sungguh alias tobatan nasuha. Selain memohon ampunan-Nya juga berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

4. Tutupi dengan amal soleh
Ibarat tabungan, berbuat dosa berarti mengurangi tabungan kita. Sedangkan berbuat baik adalah mengisi kembali. Maka sesuai menyadari kekeliruan kita, segeralah isi kembali tabungan itu dengan berbagai kebaikan tabungan kita tidak terkuras. Itulah yang dianjurkan oleh Rosululloh saw. Pada kita sat berbuat salah. Segeral mengerjakan kebaikan.

5. Jadikan pelajaran bukan kenangan

Berbuat salah itu pahit adalah jelas. Tapi kesalahan akan berarti positif bagi kita jika dijadikan sebagai pelajaran. Dari kesalahan yang pernah teradi, kita semakin sadar betapa pahit dan mahalnya harga sebuah kesalahan. Keledai tidak akan tereperosok pada lubang yang sama dua kali. Dengan tetap berpikir positif kita semakin benci pada perbuatan dosa dan semakin kuat juga berkeinginan menjadi orang yang benar.




Sumber: belajarpsikologi.com

Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan


Tindak kekerasan yang melibatkan umat Islam sering oleh kelompok liberal dijadikan alasan untuk menstigma kaum Muslim sebagai entitas yang paling tidak bisa toleran dengan penganut keyakinan lain. Stigma ini sejatinya untuk membenarkan pandangan sesat kaum liberal yang menyatakan bahwa munculnya kekerasan di dunia Islam disebabkan adanya “truth claim” dan “fanatisme”. Menurut mereka, selama umat Islam masih berpegang teguh pada truth claim dan sikap fanatic terhadap agamanya, maka budaya kekerasan akan terus melekat pada diri kaum Muslim. Untuk itu, agar umat Islam bisa bersikap toleran terhadap penganut keyakinan lain, truth claim dan fanatisme harus dihapuskan dengan cara “menyakini kebenaran agama lain” dan memaknai istilah-istilah keagamaan yang berpotensi melahirkan radikalisme seperti Islam, kafir, jihad, taghut, serta amar makruf nahi mungkar dengan makna baru yang lebih toleran (sejalan dengan pluralisme-liberalisme). Dengan cara inilah, menurut mereka, kekerasan di Dunia Islam bisa dihilangkan.

Pandangan seperti di atas jelas-jelas keliru dan menyesatkan. Alasannya, ide penghapusan truth claimdan toleransi tanpa batas lahir dari paham sekulerisme-liberalisme dan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Setiap keyakinan dan gagasan yang tegak di atas akidah selain Islam terkategori keyakinan dan gagasan kufur yang wajib diingkari. Selain itu, gagasan tersebut bertentangan dengan nash-nash qath’i yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah SWT hanyalah Islam. Selain Islam adalah kekufuran dan kesesatan.

Islam memandang keragaman agama, keyakinan, suku, ras dan bahasa sebagai perkara yang alami dan lumrah. Islam tidak berusaha menghapus keragaman tersebut dengan cara memaksa semua orang untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka. Islam dengan tegas melarang seorang Muslim memaksa orang kafir memeluk agama Islam. Islam hadir untuk mengatur keragaman (pluralitas) yang ada di tengah-tengah masyarakat agar terbina kerukunan dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, Islam pun menyeru manusia meninggalkan keyakinan dan sistem hidup kufur, menuju agama Islam yang lurus.

Berkaitan dengan toleransi, Islam menggariskan sejumlah ketentuan sebagai berikut:

1. Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kekufuran. Begitu pula agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, kebathinan, dan lain sebagainya; semuanya adalah kekufuran. Siapa saja yang menyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, tidak ragu lagi, ia adalah kafir. Jika pelakunya seorang Muslim, maka ia telah murtad dari agama Islam. Tidak ada toleransi dalam perkara semacam ini.

2. Tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariah. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah toleran terhadap keyakinan yang bertentangan pokok-pokok akidah Islam seperti: ateisme, politeisme, Al-Quran tidak lengkap, adanya nabi dan rasul baru setelah wafatnya Nabi saw, pengingkaran terhadap Hari Akhir dan semua hal yang berkaitan dengan Hari Akhir, dan lain-lain. Adapun dalam persoalan hukum syariah contohnya adalah menolak kewajiban shalat, zakat, puasa, jilbab bagi Muslimah, dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’i.

3. Islam tidak melarang kaum Muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariah, seperti menikahi wanita musyrik –kecuali ahlul kitab, menikahkan wanita Muslimah dengan orang kafir, perwalian, dan lain sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.

4. Ketentuan-ketentuan di atas tentu tidak menafikan kewajiban kaum Muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariah. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk terhadap kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islamiyah sama dengan kaum Muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Siapa saja yang berusaha menciderainya, baik Muslim maupun kafir, akan mendapatkan sanksi. Adapun terhadap kafir harbi, maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir harbi fi’lan, semacam Amerika Serikat, Israel, dan lain sebagainya.
Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi. Adapun dalam kaitannya dengan tindak kekerasan, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Tindakan kekerasan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela atau harus dihindari, asalkan sebab dan syaratnya telah dipenuhi. Tindakan kekerasan seperti jihad, pemukulan edukatif, qishash, dan lain sebagainya, dilakukan secara selektif, tidak sembarangan dan asal-asalan. Misalnya, ketika negeri Islam diinvasi tentara-tentara kafir, kaum Muslim diperintahkan mengangkat senjata mengusir mereka. Begitu pula tatkala penguasa (Khalifah) telah menampakkan kekufuran nyata, seperti mengubah sendi-sendi Islam, menerapkan hukum kufur, dan lain sebagainya, maka kaum Muslim diperintahkan menggulingkan khalifah dan mengangkat senjata melawan mereka jika mampu dan tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Ketika seorang istri melakukan pembangkangan, seorang suami dibenarkan untuk memukul dia dengan pukulan yang bersifat edukatif, bukan untuk menyakiti atau menganiaya. Dalam keadaan seperti ini, seorang Muslim dibenarkan melakukan tindakan kekerasan.

2. Dalam konteks penyebaran dakwah Islam, Islam mengedepankan dialog argumentatif, dan menjauhi sejauh-jauhnya tindakan kekerasan. Jihad dan qital adalah instrumen yang digunakan untuk melenyapkan halangan dakwah Islam, tetapi bukan metode untuk “mengislamkan seseorang”. Islam tidak memaksa penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam agama Islam, kecuali orang-orang musyrik di Jazirah Arab. Khusus untuk musyrik Arab, mereka hanya diberi dua pilihan, yakni masuk Islam atau diperangi (jika masih berdiam diri di Jazirah Arab). Yang diminta dari penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan adalah ketundukan pada kekuasaan Islam. Adapun untuk mengislamkan seseorang, Islam menggu-nakan cara maw’izhah hasanah, hikmah dan dialog argumentatif. Selain itu, penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan rasa aman merupakan da’wah bil hal yang menjadikan orang-orang kafir tertawan hatinya untuk masuk ke dalam agama Islam.

3. Islam menentang semua bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada alasan syar’i. Bahkan Islam telah menetapkan sanksi yang sangat keras bagi siapa saja yang berusaha menciderai jiwa dan harta seseorang, baik Muslim maupun non-Muslim.

4. Khalifah atau wakilnya saja yang secara syar’i berhak dan absah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, seperti hukuman mati bagi orang yang murtad (hudud), jinayat, dan ta’zir. Selain Khalifah dan wakilnya dilarang menjatuhkan sanksi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran,


Sikap Khalifah dan Umat Islam Terhadap Kemungkaran


          Seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, tidak diperkenankan toleran terhadap kekufuran dan kemaksiatan, apapun bentuknya. Kekufuran dan kemaksiatan harus dilenyapkan. Hanya saja, Islam tidak memaksa orang-orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam. Adapun seorang Muslim yang melakukan tindak kemaksiatan, maka ia akan mendapatkan sanksi sejalan dengan ketetapan syariah. Penjatuhan sanksi bagi pelanggar dengan potong tangan, perang, rajam, dan sebagainya, merupakan perkara lumrah yang diakui dalam perspektif Islam. Pengingkaran orang-orang kafir terhadap hukum-hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan jihad, hudud, jinayat, dan sebagainya tidak berarti sama sekali.

Perlakuan Khilafah atas orang-orang kafir dapat dirinci sebagai berikut;

a. Mereka tidak dipaksa untuk meninggalkan agama dan keyakinannya. Mereka dibiarkan menyakini dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Khalifah tidak akan memaksa mereka untuk beribadah sesuai dengan peribadahan Islam seperti shalat, nikah, puasa, zakat, dan lain sebagainya.

b. Orang-orang kafir yang melakukan tindak pelanggaran seperti perzinaan, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan lain-lain, maka mereka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan syariah Islam. Khalifah akan merajam orang kafir yang berzina, memotong tangan orang kafir yang melakukan pencurian, dan sebagainya. Khalifah bisa saja memenjara orang kafir yang melakukan kecurangan, penipuan, dan penggelapan. Dalam konteks seperti ini, mereka diperlakukan sama dengan orang Muslim.

c. Terhadap kaum zindiq seperti orang menyebarkan ajaran sesat, mengaku dirinya nabi dan rasul, dan mempropagandakan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam seperti menolak al-Quran dan as-Sunnah, mendewakan Sahabat, ataupun menolak ajaran-ajaran Islam yangqath’i baik sebagian maupun keseluruhan maka mereka akan diperangi jika pelakunya adalah orang Muslim. Sebab, mereka telah murtad dari agama Islam dan wajib diperangi. Selain itu, ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam melalui pemikiran-pemikiran yang sesat. Ini adalah perlakuan Khilafah terhadap orang zindiq yang pertama kali melakukan kezindiqan. Jika seseorang sejak kecil mengikuti keyakinan sesat yang diajarkan oleh kedua orangtuanya, maka orang tersebut tidak dianggap murtad dari agama Islam. Status orang tersebut adalah orang kafir, dan akan diperlakukan seperti orang-orang kafir lainnya. Ia tidak boleh diperangi dengan alasan murtad dari agama Islam. Pasalnya, ia sejak kecil telah memeluk keyakinan sesat tersebut sehingga tidak dianggap murtad dari agama Islam. Orang-orang seperti ini dianggap sebagai orang kafir dan diperlakukan sebagai orang kafir. Namun, jika ia mengaku-mengaku dan mempropagandakan dirinya sebagai orang Muslim, mereka dianggap zindiq, dan bisa dihukum mati jika tidak menghentikan perbuatannya. Orang seperti ini dianggap melakukan perbuatan memecah-belah kesatuan umat Islam, dan merusak kesucian akidah Islam.

d. Khilafah Islam adalah negara yang menjalankan dakwah Islam. Meskipun ia mengakomodasi semua kemajemukan yang ada di wilayahnya, bukan berarti tidak melakukan aktivitas dakwah. Oleh karena itu, Khilafah tidak akan mengizinkan pembangunan tempat-tempat peribadahan non-Muslim, atau memasukkan ajaran-ajaran kufur ke dalam kurikulum pendidikan negara. Khilafah Islam juga tidak akan menyediakan guru-guru non-Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah resmi negara. Semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah, termasuk penyediaan tempat-tempat ibadah, Khilafah Islam tidak akan turut campur, atau memberikan dukungan dan bantuan. Pasalnya, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadahan orang kafir, termasuk membantu terlaksananya ibadah-ibadah orang kafir. Jika dilakukan, sama artinya telah menolong kekufuran. Tindakan ini dilakukan sebagai wujud dakwah Islam yang diselenggarakan oleh negara. Hanya saja, dalam kedudukannya sebagai warga negara Khilafah Islam, hak dan kewajiban mereka dijamin sepenuhnya oleh negara, tanpa ada pengecualian. Mereka berhak mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.

Demikianlah, Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan yang lebih adil dan toleran dalam batas-batas rasional dan syar’i. Ketentuan Islam menyangkut pluralitas tentu saja jauh unggul dibandingkan apa yang dipropagandakan kelompok plural-liberalis yang sejatinya adalah cecunguk-cecunguk kaum imperialis dan pelanggar HAM nomor wahid.



Penulis: Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy

Orang Berjihad dan Mati Syahid Namun Masuk Neraka



          Jihad adalah amal yang sangat berat. Bisa dikatakan paling berat dibandingkan dengan amal-amal yang lain.

Cobalah sebutkan satu per satu amal yang kita hafal. Shalat? Shalat adalah ibadah yang membutuhkan pengorbanan waktu, gerakan fisik dan bacaan lisan serta hati. Sedangkan jihad, pengorbanan waktunya lebih lama. Jika shalat hanya hitungan menit, jihad bisa memakan waktu dalam hitungan hari hingga bulan. Jika shalat membutuhkan gerak untuk berdiri, ruku’ dan sujud; jihad bahkan membutuhkan tenaga untuk berlari, menggunakan senjata dan bertempur melawan musuh. Dalam berjihad pun, seorang mujahid tetap melaksanakan shalat.

Zakat? Zakat adalah ibadah maliyah, mengeluarkan harta. Sedangkan jihad, pengorbanannya lebih besar. Jika zakat berkisar antara 2,5% – 10%, orang yang berjihad bisa menghabiskan separuh hartanya untuk perbekalan dan persenjataan.

Haji? Haji adalah ibadah yang membutuhkan dana dan kemampuan fisik. Namun, jihad lagi-lagi membutuhkan dana dan kemampuan fisik yang lebih besar. Ada puluhan jamaah haji yang meninggal karena sakit atau kelelahan. Tetapi dalam jihad, peluang untuk meninggal jauh lebih besar karena langsung berhadapan dengan senjata musuh.

Karenanya, jihad merupakan amal paling berat dibandingkan dengan amal-amal yang lain. Jihad berarti mengorbankan harta sekaligus beresiko nyawa. Maka sangatlah pantas jika orang yang berjihad lalu syahid, ia mendapatkan surga.

Namun, ternyata ada orang yang berjihad dan syahid tetapi masuk neraka. Siapa dia? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Sesungguhnya manusia pertama yang diputuskan perkaranya pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid. Dia dihadapkan, lalu Allah menunjukkan kenikmatan-kenikmatanNya kepadanya, maka dia pun mengenalnya. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan padanya?’ Orang itu menjawab, ‘Aku berperang karenaMu sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan ‘fulan pemberani; dan itu telah kamu dapatkan.’ Kemudian diperintahkan (agar dia diseret di atas wajahnya). Lalu dia pun diseret di atas wajahnya sampai dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Duhai betapa nestapanya. Amal yang begitu berat, mengorbankan harta dan jiwa, tetapi justru masuk neraka. Dan kita kini tahu penyebabnya: tidak ikhlas, tidak mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Berjihad, tetapi niatnya ingin disebut sebagai pemberani. Berjuang, tetapi niatnya ingin disebut sebagai pahlawan.

Maka marilah kita periksa hati kita. Jangan-jangan kita lebih buruk dari orang yang disebut dalam hadits Nabi tersebut. Beramal karena riya’. Beramal karena ingin dipuji orang. Beramal karena mengharap tepuk tangan.

Jika amal seberat jihad dan pengorbanan nyawa saja menjadi sia-sia karena riya’, apalagi amal-amal kita yang tak sehebat jihad dan jauh dari resiko nyawa. Tanpa niat ikhlas, sungguh betapa nestapa.




Penulis: Muchlisin "bersamadakwah"

SURAT UNTUK INDONESIA

 بِسْمِ ٱﷲ ِٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيْمِ

SURAT UNTUK INDONESIA


          Saudaraku, kita semua tentu tahu, saat ini negara kita tengah dibelit berbagai persoalan yang sangat berat. Bila belakangan banyak orang menyerukan Save KPK, lebih dari itu kita sesungguhnya memerlukan Save Indonesia. Sebab, bila menilik beratnya persoalan yang mengancam negeri ini dan tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin negeri ini akan hancur. Mengapa?

Saat ini kita tengah berada dalam ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme yang makin keras mencengkeram. Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan: privatisasi sektor publik seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat (perusahaan) baik domestik maupun asing.

Ancaman neoliberalisme akan semakin besar dengan pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai tahun 2018 ini. MEA, sebagaimana blok pasar bebas lain, merupakan strategi kekuatan kapitalis global untuk meluaskan hegemoninya, khususnya di kawasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam pasar bebas, dihapus semua hambatan masuk (barrier to entry) baik tarif maupun non tarif seperti regulasi, penetapan kuota, subsidi, dan lainnya yang selama ini memang dibuat untuk melindungi produk dalam negeri. Jadi, MEA tak lain adalah pasar bebas yang akan membuka pasar negara-negara di kawasan ASEAN yang berpenduduk sekitar 600 juta bagi produk dan penanaman modal negara-negara kapitalis besar.

Sementara itu, gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik dengan pemberlakuan model pemilihan langsung untuk kepala daerah dan presiden serta pemilihan anggota legislatif berdasar suara terbanyak, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik, yang penting mereka terpilih. Karena itu, pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi kepentingan asing.

Keputusan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM, misalnya, adalah bukti kebijakan yang sangat sarat kepentingan asing. Meskipun kemudian diturunkan, namun tidak bisa menutupi maksud sesungguhnya dari kebijakan itu, yakni pemberlakuan liberalisasi migas secara total. Rezim Jokowi-JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang dimaui oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tetapi dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun.

Di lapangan legislatif, intervensi asing juga sangat nyata. Menurut seorang anggota DPR, ada lebih dari 76 UU yang pembuatan draft-nya dilakukan pihak asing seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga tengah dalam ancaman neoimperialisme.

Neoimperialisme adalah penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionasi Kristiani). Meski mungkin kepentingan yang ketiga (gospel) kini tidak begitu menonjol, kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan.

Saudaraku, neoliberalisme dan neoimperialisme tentu saja berdampak sangat dampak buruk buat kita semua. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi, dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain.

Sementara itu, demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan pada saat kampanye atau sebelum pemilihan. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti Freeport, adalah bukti nyata pengabaian aspirasi rakyat serta ketundukan Pemerintah pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.


Oleh karena itu, wahai Saudaraku, jelas sekali negeri ini harus segera diselamatkan. Tak ada pilihan lain kecuali dengan Islam, yakni dengan syariah dan khilafah. Jadi, Save Indonesia with Sharia and Khilafah. Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah.



Sumber : Al-Islam edisi 749, 6 Jumaduts Tsani 1436 H – 27 Maret 2018 M

Aborsi Dalam Pandangan Islam



Perkara penting yang harus dikemukakan sebelum membahas aborsi adalah fakta tahapan (periode) pembentukan janin di dalam kandungan ibu, karena pembahasan aborsi berangkat dan dibangun berdasarkan tahapan janin. Oleh karena itu, perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang aborsi juga kembali kepada fakta tahapan pembentukan janin di dalam kandungan ibu.

Tahapan Penciptaan dan Pembentukan Janin
Secara umum, tahapan penciptaan manusia pertama kali adalah ketika nabi Adam alihissalâm diciptakan oleh Allah SWT dari tanah. Menurut sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallâh ‘anhu;

“penciptaan manusia terdiri dari tiga jenis tanah yaitu, dari thîn lâzib (saripati tanah liat yang kuat dan bagus), hamain masnûn (tanah hitam lumpur yang dapat dibentuk), dan shalshâl (tanah kering yang halus seperti tembikar)”[1], lihat QS. [23]: 12, [15]: 28, [55]: 14.

Adapun tahapan penciptaan anak cucu Adam, proses pembentukannya dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mu’minûn [23] ayat 12-14, dan surat Al-Hajj [22] ayat 5, serta dalam hadits Ibnu Mas’ûd yang diriwayatkan oleh imam Ahmad.

Dari ayat-ayat dan hadits di atas, jelas bahwa fase-fase pokok penciptaan dan pembentukan janin di dalam kandungan adalah sebagai berikut:

  • Nuthfah, yaitu sperma laki-laki dan indung telur perempuan apabila bersatu di dalam rahim perempuan, dan itulah fase pertama janin, [23]: 13.Nuthfah ini terbentuk dari tiga proses yaitu; (1) Air terpancar (al-Mâu ad-Dâfiq), [86]: 5-7. (2) Saripati air (as-Sulâlah) [32]: 8. (3) Tercampur (al-Amsyâj) [76]: 2.
  • ‘Alaqoh, yaitu segumpal darah yang membeku yang tercipta dari campuran sperma laki-laki dan sel telur perempuan, [23]: 14.
  • Mudghoh, yaitu segumpal daging yang seukuran kunyahan yang terbentuk dari ‘alaqoh, [23]: 13-14.
Dari tiga fase janin ini, masing-masing memakan waktu 40 hari sebelum beralih ke fase berikutnya. Apabila janin telah mencapai masa 120 hari, maka ditiupkanlah kepadanya ruh dan menjadi ciptaan yang baru, [23]: 14.

  • Pembentukan tulang belulang dan daging, [23]: 14, [2]: 259, [75]: 3-4.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka fase (proses) penciptaan janin dimulai pada hari ketujuh sejak awal bertemunya sperma laki-lak dan indung telur perempuan, dan penciptaannya berlangsung terus-menerus hingga ditiupkan ruh pada fase akhir mudhghah, kemudian memasuki fase pembentukan tulang-belulang dan daging, dan terus berkembang hingga kelahirannya. Perbedaan antara penciptaan dan pembentukan janin tersebut didasarkan pada banyak ayat antara lain pada surat [7]: 11.

Pengertian Aborsi


Secara etimologi (bahasa), aborsi diambil dari bahasa Arab yaitu إِجْهَاض (ijhâdh), isim mashdar dari kata (أجْهَضَ – يُجْهِضُ – إِجْهَاضًا) artinya menggugurkan, maksudnya pengguguran kandungan (janin) (Kamus Al-Munawwir, h.219). Dikatakan (أحهضت الناقة إذ أَلْقَتْ ولدَها) artinya; “unta itu menggugurkan janinnya, ketika membuang anaknya”[2]. Al-Azharî Muhammad Ibnu Ahmad berkata; “disebut (Ijhâdh) khusus untuk unta”.[3]

Yang lain menyebut aborsi diambil dari kata إِسْقَاط (isqâth) isim mashdar dari kata (أسَقَطَ – يُسْقِطُ – إِسْقَاطًا) artinya “penjatuhan”, maksudnya pengguguran janin (Kamus Al-Munawwir, h.641), dikatakan (أسقطت المرأة ولدَها أي ألقته لغير تمام) artinya; “perempuan itu menggugurkan janinnya, yakni membuang anaknya karena belum sempurna”, dan dikatakan (أسقطت الناقة وغيرهاإذا ألقت ولدَها) artinya; “unta dan selainnya menggugurkan janinnya apabila membuang anaknya”[4]. Jadi, Isqâth adalah menggugurkan anak sebelum sempurna atau keluarnya janin dari perut ibunya antara umur 4 bulan dan 7 bulan.

Menurut para pakar bahasa, jika aborsi diartikan “keguguran janin yang terjadi sebelum memasuki bulan keempat dari usia kehamilannya”, disebut al-Ijtihâdh (almaany.com)[5]. Sedangkan jika diartikan “keguguran yang terjadi pada usia kandungan antara empat sampai tujuh bulan setelah fisiknya terbentuk secarasempurna dan telah ditiupkan ruh sehingga tidak dapat melanjutkan hidupnya”, disebut al-Isqâth (almaany.com)[6].

Berdasarkan pemaparan di atas, nampak bahwa aborsi baik berasal dari kata ijhâdh maupun berasal dari kata isqâth memilki pengertian yang sama yaitu sama-sama menggugurkan kandungan sebelum sempurnanya janin. Akan tetapi terdapat perbedaan antara kedua kata ijhâdh dan isqâth, yaitu sebagai berikut;

  1. Ijhâdh sering digunakan terkait Unta (binatang), bahkan sebagian mengkhususkan hanya pada unta. Sedangkan Isqâth sering digunakan terkait orang (manusia).
  2. Ijhâdh mencakup janin yang sudah tampak penciptaannya dan yang belum tampak, sebahagian menkhususkan telah ditupkan ruh pada janin tetapi keluar dalam keadaan tidak hidup. Sedangkan isqâth mencakup semuanya akan tetapi lebih sering digunakan sebelum penciptaan sempurna.


Jadi dapat disimpulkan bahwa aborsi (ijhâdh atau isqâth) menurut bahasa adalah menggugurkan janin sebelum sempurna penciptaannya, atau sebelum sempurna masa kehamilan. Baik sebelum ditiupkan ruh maupun sudah, dan baik janinnya laki-laki maupun perempuan. Maka tidak disebut ijhâdh kecuali janin dikeluarkan sebelum masa kelahirannya dan dalam keadaan tidak hidup.[7]

Adapun pengertian aborsi secara terminologi adalah pengguguran kehamilan sebelum sempurna penciptaannya atau sebelum sempurna masa kehamilannya, pada perempuan atau binatang, sengaja atau tidak, dan baik dilakukan sendiri atau dilakukan orang lain.[8] Menurut para ulama, aborsi diartikan sebagaimana yang diistilahkan ahli bahasa, dan hanya dari kalangan Syafi’iyah saja yang menggunakan istilah ijhâdh, sedangkan yang lain menggunakan istilah isqâth. Selain itu, para ulama memasukan aborsi dalam bab jinâyât (pidana).

Jenis-jenis, Cara dan Penyebab Aborsi


Seiring dengan kemajuan dan perkembangan sarana hidup manusia, baik di bidang teknologi, telekomunikasi, sosmed dan lain sebagainya -terlepas sarana tersebut digunakan untuk kebaikan hidupnya atau tidak, dengan cara sesuai norma agama atau tidak-, akan memunculkan berbagai cara untuk melakukan aborsi -dengan maksud tujuan yang beragam pula-. Akhirnya, diketahui berbagai macam jenis aborsi yang terjadi dewasa ini.

Berdasarkan perspektif fiqih, aborsi digolongkan menjadi lima macam, di antaranya:

  1. Aborsi spontan (al-isqâth al-dzâty), yaitu janin gugur dengan sendirinya secara alamiah tanpa adanya pengaruh dari luar. Biasanya disebabkan oleh kelainan kromosom yang tidak memungkinkan mudhghah tumbuh normal, kalaupun tidak gugur, akan tumbuh dengan cacat bawaan. Hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh infeksi, kelainan rahim atau kelainan hormon.
  2. Aborsi darurat atau pengobatan (al-isqâth al-dharûry/al-‘ilâjiy), yaitu aborsi dilakukan karena ada indikasi fisik yang mengancam nyawa ibu bila tidak digugurkan.
  3. Aborsi tidak disengaja (isqâth al-khatha’), yaitu keguguran yang dialami oleh seorang ibu karena tindakan orang lain tanpa disengaja. Seperti pemburu yang melepaskan tembakan atas binatang buruannya tetapi meleset mengenai seorang ibu yang sedang hamil. Jika janin keluar dalam keadaan meninggal ia wajib membayar denda (diyat) atau kompensasi atas kematian janin yang dibayarkan kepada keluarganya.
  4. Aborsi menyerupai kesengajaan (isqâth syibh ‘amd), aborsi yang dilakukan karena menyerupai kesengajaan. Seperti seorang suami yang menyerang isterinya yang sedang hamil hingga mengakibatkan keguguran.
  5. Aborsi sengaja dan terencana (isqâth al-‘amd), yaitu aborsi yang dilakukan secara sengaja oleh seorang perempuan yang sedang hamil, baik dengan cara minum obat-obatan yang dapat menggugurkan kandungannya maupun dengan cara meminta bantuan orang lain (seperti dokter, dukun dan sebagainya) untuk menggugurkan kandungannya.

Jadi aborsi persfektif fiqhi didasarkan pada pelaku yaitu;

  1. aborsi spontan tanpa ada campur tangan manusia,
  2. aborsi darurat karena pengobatan,
  3. aborsi tidak disengaja,
  4. aborsi menyerupai kesengajaan, dan
  5. aborsi yang disengaja dan direncanakan.

Adapun cara-cara aborsi yang dilakukan oleh ibu untuk menggugurkan janinnya, dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Cara-cara aktif, seperti minum obat melebihi dosis, ibunya sengaja lompat-lompat, tindakan kejahatan terhadap ibu, dan sebagainya.
  2. Cara-cara pasif, seperti ibu tidak mau meng-konsumsi obat atau makanan bergizi, padahal keengganan itu berpengaruh buruk terhadap janin.
  3. Cara-cara medis, seperti menginjeksi zat prostegelamizin yang membunuh janin dengan cara menyuntikkannya pada pembuluh darah, urat, rahim, melakukan operasi baik currete atau membersihkan rahim, maupun operasi medis menyerupai Caesar untuk mengeluarkan janin dari rahim ibunya.

Sedangkan alasan yang menjadikan seseorang melakukan aborsi sangat beragam, baik pengguguran janin (aborsi) atas permintaan dari pihak ibu, maupun dari pihak lainnya. Di antara ragam penyebab tindak aborsi yang paling sering dan banyak dilakukan adalah;

  1. Karena kemiskinan, baik memang sudah miskin atau takut penghasilan yang tidak memadai;
  2. Karena kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perbuatan zina;
  3. Karena kekhawatiran ibu atas anaknya yang sedang disusuinya terhenti mendapatkan ASI;
  4. Karena takut janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya; dan lain sebagainya. Tentu semua kekhawatiran tersebut di atas bukanlah alasan untuk membolehkan aborsi, hal ini berdasarkan firman Allah di dalam surat [6]: 151, [17]: 31.

Hukum Aborsi dan Sanksi atas Pelakunya


Perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam perkara ini hanya pada aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh pada janin, dan mereka tidak ada perbedaan pendapat tentang keharaman aborsi setelah peniupan ruh pada janin.

Pertama; Hukum Abaorsi Setelah Ditiupkan Ruh. Para ulama sepakat tentang keharaman aborsi jika dilakukan setelah peniupan ruh, yaitu setelah janin berusia 120 hari dari awal kehamilan, karena aborsi dihukumi setelah peniupan ruh terhadap janin. Pengharaman ini termasuk jika keberadaan anak “masih dianggap” dapat membahayakan ibunya, karena kematian ibunya dianggap belum pasti sementara aborsi sudah pasti membunuh janin.[9] Hal ini dikembalikan kepada kondisi ibu, jika dapat dipastikan dengan keyakinan dan melalui medis bahwa keberadaan janin di dalam kandungan membahayakan nyawa ibunya, maka harus diambil tindakan aborsi.[10] Dalilnya:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قاَلَ ;حَدَّثَناَ رَسُوْلُ اللّهِ rوَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ ; إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّه أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذاَلِكَ ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذاَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِماَتٍ ; رِزْقِه ، وَأَجَلِه ، وَعَمَلِه ، وَهَلْ هُوَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
– الحديث رواه أحمد -
Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: “Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami -beliau jujur dan terpercaya-; “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian benar-benar berproses kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud air mani; kemudian berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal darah; lantas berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal daging; kemudian malaikat dikirim kepadanya untuk meniupkan ruh ke dalamnya; lantas (sang janin) itu ditetapkan dalam 4 ketentuan: ditentukan (kadar) rizkinya, ditentukan batas umurnya, ditentukan amal perbuatannya, dan ditentukan apakah tergolomg orang celaka ataukah orang yang beruntung.” (HR. Ahmad)

Adapun pelaku aborsi ini, setelah peniupan ruh dianggap telah melakukan kriminal dan atasnya sanksi ghurrah (diyat janin) yang harus dibayar karena telah melakukan pembunuhan terhadap manusia dan menghilangkan nyawa.[11]

Kedua; Hukum Abaorsi Sebelum Ditiupkan Ruh. Para ulama dari berbagai kalangan berbeda pendapat tentang aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh, atau sebelum janin berusia 120 hari sejak kehamilannya, bahkan dari kalangan madzhab pun berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dalam masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut;

  1. Haram hukumnya, pendapat ini disandaran kepada madzhab Al-Mâ Imam ad-Dardîr mengatakan: “Tidak boleh menggugurkan (mengeluarkan) mani yang sudah terbentuk di dalam rahim meskipun belum cukup 40 hari”, Ad-Dasûqî mengatakan: “yang dimaksud oleh Imam ad-Dardîr adalah haram”.[12] Menurut Ibnu Rusyd, Imam Mâlik mengatakan: “Setiap yang dibuang (digugurkan) oleh perempuan adalah jinâyah (kriminal) baik berupa segumpal darah atau daging, yang sudah diketahui bahwa itu adalah janin maka baginya ghurrah (sanksi)”, bahkan menurut Imam Mâlik sebaiknya dikenakan kaffârah (denda) dang ghurrah sekaligus.[13]
  2. Hukumnya makruh secara mutlak, pendapat ini disandarkan kepada madzhab Al-Hanafiyah. Imam Ali bin Musa dari ulama Hanafiyah, dan Ibnu ‘Abidîn menukil darinya, ia berkata bahwa: “Dimakruhkan (hukumnya) membuang (menggugurkan) sebelum ditiupkan ruh, karena air mani yang telah terbuahi di dalam rahim berpontensi hidup, maka statusnya sama dengan hidup”.[14] Madzhab Al-Mâlikiyah juga memakruhkan jika janin sebelum 40 hari.[15] Imam ar-Ramlî dari kalangan ulama Asy-Syâfi’iyah berkesimpulan bahwa makruh hukumnya pengguguran janin sebelum peniupan ruh hingga mendekati waktu peniupan ruh dan haram hukumnya waktunya telah mendekati peniupan ruh karena hal itu termasuk kriminal.[16]
  3. Hukumnya mubah secara mutlak, pendapat ini disandarkan kepada sebagian ulama Al-Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa hukumnya mubah (boleh) menggugurkan kehamilan selama belum ditiupkan ruh pada janin.[17] Imam Al-Lakhmî dari ulama Al-Mâlikiyah dan Abu Ishâq al-Marwazî dari kalangan Asy-Syâfi’iyah, mengatakan hukumnya mubah sebelum umur janin 40 hari.[18] Juga pendapat madzhab Al-Hanâbilah yang membolehkan menggugurkan pada fase awal (40 hari) kehamilan karena perempuan dibolehkan minum obat untuk menggugurkan sperma (fase awal), tetapi tidak untuk segumpal darah.[19]
  4. Hukumnya mubah karena ada udzur (alasan syar’iy). Pendapat ini sebenarnya adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah, Ibnu ‘Abidîn menegaskan bahwa tidak boleh menggugurkan janin tanpa ada udzur (alasan), alasan yang dimaksud adalah alasan terpaksa (dharûrat) yaitu terhentinya air susu ibunya setelah hamil dan bapaknya tidak mampu menyewa ibu susuan dan khawatir akan kebinasaan.[20]

Berdasarkan beberpa hukum aborsi dari berbagai kalangan ulama madzhab sebagaimana disebutkan di atas, dapat diringkas bahwa hukumnya setelah peniupan ruh ke dalam janin adalah haram secara aklamasi (ijma’ ulama). Baik dengan cara meminum obat, melakukan gerakan-gerakan yang keras, maupun tindakan medis; baik dilakukan oleh pihak ibu, ayah, maupun dokter. Sebab, abortus merupakan tindakan pelanggaran terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya.[21] Allah SWT berfirman:

… وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ …
 (١٥١)
“…dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…” (QS. Al-An’âm [6]: 151)

Tindakan ini termasuk tindakan kriminal yang mewajibkan diyat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diyat ghurrah budak lelaki maupun perempuan, yang nilainya sepersepuluh (10%) diyat membunuh manusia dewasa. Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, berkata;

قَضَى رَسُولُ اللَّهِ r فِي جَنِينِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي لَحْيَانَ سَقَطَ مَيِّتًا بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ
“Bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan atas janin perempuan dari Banî Lahyân yang janinnya keguguran dengan ghurrah (tebusan) diyat budak lelaki atau perempuan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Standar bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diyat ghurrah, adalah setelah nampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, atau kuku.

Adapun hukum pengguguran sebelum janin ditiupkan ruh adalah, (1) jika dilakukan setelah berumur 40 hari sejak awal kehamilan, dimana proses penciptaan dimulai, maka hukumnya juga haram. Dalilnya hadits Imam Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً، بَعَثَ اللهُ إِلَيْهَا مَلَكًا، فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا، ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى؟ فَيَقْضِي
...
( رواه مسلم )
“Jika nuthfah (zigote) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat berkata, ”Wahai Tuhanku, apakah dia ditetapkan laki-laki atau perempuan?” Maka Allah memberi keputusan…”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain disebutkan: 40 malam (arba’ina lailatan). Jadi, pengguguran janin pada saat permulaan proses penciptaannya, maka hukumnya sama dengan pengguguran janin yang telah ditiupkan ruh padanya, yaitu haram. Hal itu karena ketika dimulai proses pembentukan janin dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, dipastikan janin itu adalah janin yang hidup dan sedang menjalani proses untuk menjadi seorang manusia sempurna.

Karena itu, penganiayaan terhadap janin tersebut sama saja dengan penganiayaan terhadap jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Penganiayaan tersebut dipandang sebagai pembunuhan terhadap janin dan pelakunya berkewajiban membayar diyat berupa ghurrah budak laki-laki atau perempuan. Allah SWT jelas-jelas telah mengharamkan tindakan ini, sebagaimana firman-Nya:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
(٨)
بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
(٩)
“Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh?” (QS. At-Takwîr [81]: 8-9)

Atas dasar ini, seorang ibu, ayah, atau dokter haram melakukan abortus setelah janin berumur 40 hari sejak awal kehamilan. Siapa saja yang melakukan tindakan itu, berarti ia telah melakukan tindakan kriminal dan melakukan dosa. Ia wajib membayar diyat atas janin yang digugurkannya itu, yakni diyat ghurrah.

Kesimpulannya; aborsi tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin (40 hari) maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang fasik, pen.) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya.[22]

Akar Masalah dan Solusi Aborsi


Sesungguhnya praktek aborsi merupakan indikator mewabahnya kebejatan moral di masyarakat sebagai buah dari sistem Kapitalisme yang diterapkan. Ideologi Kapitalisme dengan asas sekulerisme (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh), yaitu pemisahan aturan agama dari kehidupan. Di dalam kehidupan sehari-hari ajaran agama diabaikan, ditinggal, bahkan dicampakkan, lalu mengambil hukum aturan yang berasal dari Barat, yaitu kebebasan berekspresi atau bertingkah-laku yang telah menjadikan kehidupan sosial masyarakat menjadi rusak, karena standar kebebasan menjadi andalan mereka. Baik di pedesaan maupun di perkotaan, mereka jauh dari nilai-nilai dan ajaran agama.[23]

Pada tahun 2013 yang lalu, diperkirakan sebanyak 3 juta aborsi terjadi setiap tahun di Indonesia. Perlu diingat bahwa kasus aborsi yang terjadi bukan sekadar persoalan ekonomi dan medis, maupun kesehatan masyarakat, namun sangat terkait erat dengan paham kebebasan bertingkah laku yang berkembang di masyarakat, yang didukung seperangkat aturan sekuler yang membebaskan setiap orang untuk berbuat apapun termasuk melakukan seks bebas yang berujung pada aborsi. Alhasil, masyarakat semakin sakit karena ditimpa berbagai problem sosial seperti; perselingkuhan, seks bebas, dan aborsi itu sendiri.

Sudah begitu, masyarakat semakin tidak peduli karena cenderung terjangkiti sikap individualistik dan materialistik. Kondisi ini diperparah oleh kampanye pornografi dan pornoaksi melalui media seperti tayangan televisi, surat kabar, majalah, dan akses internet.

Di sisi lain, pemerintah absen dalam membina ketakwaan masyarakat dan terkesan membiarkan menjamurnya lokasi prostitusi dan bahkan ingin dilegalkan dengan nama lokalisasi prostitusi yang berujung banyaknya aborsi. Kalau pun pelaku aborsi ditangkap, tidak akan menyelesaikan persoalan karena secara faktual sistem hukum yang berlaku gagal memberi efek jera dan efek cegah di masyarakat.

Jadi, akar masalah banyaknya terjadi aborsi adalah akibat penerapan sistem sosial yang sekuler yang bersumber dari ideologi Kapitalisme.

Adapun solusi Islam terhadap maraknya praktek aborsi adalah solusi tuntas yang dapat mencabut dan mengatasi akar masalahnya yaitu dengan mencampakkan sistem sosial yang sekuler, yang berasal dari ideologi Kapitalisme, dan menggantinya dengan sistem sosial Islam, yang berasal dari ideologi Islam.

Pada tataran praktis, negara wajib untuk menutup setiap pintu kemaksiatan dengan melarang seks bebas termasuk pacaran, menutup total lokalisasi, melarang media yang memuat konten pornografi dan pornoaksi. Dengan demikian, maka permasalahan aborsi bisa diselesaikan.

Pada tataran ideologi, aborsi dan segala pemicunya hanya dapat dihentikan dengan cara menerapkan seluruh aturan (syari’at) Islam di dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai Khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian. Karena, hanya dengan tegaknya syari’at Islam melalui institusi Khilafah yang dapat secara nyata mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
...
(٢٤)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfâl [8]: 24)

[1] Tafsîr Ibnu Jarîr ath-Thabarî, (7/511), Ma’ânî al-Qur’an li al-Farrâ’, (2/88).
[2] Ibnu Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Pasal Jîm Hâ Dhâ, h. 228.
[3] Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Juz 7, Pasal Jîm Hâ Dhâ, h. 131.
[4] Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Juz 7, Pasal Syîn Qâf Thâ’, h. 316.Lihat juga di mu’jam dan Qamus yang lain, pada pasal Syîn Qâf Thâ’.
[5] Ibrâhîm Mushthafâ, al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr ad-Dakwah, juz 1, h. 143. Lihat juga di mu’jam dan Qamus yang lain, pada pasal Jîm Hâ Dhâ.
[6] Assosiasi Ahli Bahasa, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Majma’ al-Lughah t.th, Cet. 2, h. 441.
[7] Dr. Ibrâhîm bin Muhammad Qâsim bin Muhammad Rahîm, Ahkâm al-Ijhâdh fî al-Fiqh al-Islâmî, (Brîthaniâ: Silsîlah Isdhârah al-hikmah, 2002), Cet.I, h. 79.
[8] Prof. Dr. Muhammad Rawwâs Qal’ahjî, Mu’jam Lughah al-Fuqhâ’, pasal ijhâdh.Dan Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Juz 2, (Kuwait; Dâras-Salâsil, 1427H), Cet.II, Pasal ijhâdh, h.56.
[9] Ibnu ‘Abidîn, ad-Durr wa Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 1/602.
[10] Al-Maktabah asy-Syâmilah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiya, Juz 2, (Kuwait: Dâr as-Salâsil, 1427 H), Cet. I, h. 56.
[11] Dr. Wahbah bin al-Mushthafâ az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Juz 4, (Dimasyq : Dâr al-Fikr, t.t.,), Cet. IV, h. 196.
[12] Al-Maktabah asy-Syâmilah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiya, h. 58., ad-Dasûqî, asy-Syarh al-Kabîr bi Hâsyiyah ad-Dasûqî, 2/266-267.
[13] Al-Maktabah asy-Syâmilah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiya, h. 58., Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, 2/453.
[14] Ibnu ‘Abidîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 2/380.
[15] Ad-Dasûqî, asy-Syarh al-Kabîr bi Hâsyiyah ad-Dasûqî, 2/266-267.
[16] Ar-Ramlî, Nihâyah al-Muhtâj, 8/416.
[17] Ibnu al-Hammâm, Fath al-Qadîr, 2/495., Ibnu ‘Abidîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 2/380.
[18] Al-Lakhmî, Hâsyiyah al-Rahûnî ‘alâ Syarh az-Zarqânî, 3/264, Cet.I.,
[19] Kutub al-Hanâbilah, al-Furû’, 6/191, al-Inshâf, 1/386, Ghâyah al-Muntahâ, 1/81, ar-Raudhah al-Murabba’, 2/316, Kasysyâf al-Qannâ’, 6/54.
[20] Ibnu ‘Abidîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 2/380.
[21] Asy-Syaikh al-Qadhîal-‘Allâmah Taqiyuddîn an-Nabhânî, an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, (Bairût: Dâr al-Ummah, 2003), Cet. IV, h. 165.
[22]an-Nabhânî, an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, h. 166.