Islam Nusantara Istilah Keliru, Yang Benar Muslim Nusantara

Islam Nusantara Istilah Keliru, Yang Benar Muslim Nusantara
Islam itu agama. Muslim itu pemeluk agama atau orang yang menganut agama Islam. Islam is Religion. Muslim is Follower. Maka, Islam Nusantara itu keliru. Yang benar, Muslim Nusantara.

ISTILAH Islam Nusantara itu keliru karena Islam hanya ada satu, yakni Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw dan bersumberkan Al-Quran, Hadits, dan Ijma' Ulama.

Yang benar adalah Muslim Nusantara karena Muslim banyak, ada di mana-mana, termasuk Muslim Timur Tengah, Muslim Eropa, Muslim Amerika, Muslim Australia, dan sebagainya.

Wacana Islam Nusantara terkesan membuat "agama baru" dalam Islam, padahal jika Islam dikurangi atau ditambah, bukan lagi Islam, minimal tidak murni lagi sebagai agama Islam.

Jadi, sebaiknya istilah Islam Nusantara segera dikubur saja, digantikan dengan Muslim Nusantara, yakni pemeluk agama Islam yang ada di nusantara (Indonesia).

Jika istilahnya Muslim Nusantara, maka bisa diterima. Muslim Arab Saudi biasa memakai gamis dan sorban. Muslim Indonesia biasa mengenakan kopiah dan sarung. Muslim Pakistan dan Afghanistan biasa mengenakan baju mirip Arab. Muslim Eropa lain lagi, yaitu mengenakan celana panjang dan jas.

Itulah keragaman Muslim dalam mempraktikkan Islam, namun esensinya tetap Islam yang satu, yaitu Islam yang bersumberkan Al-Quran, hadits, dan Ijma Ulama. Tidak ada sumber lain ajaran Islam selain ketiga sumber tersebut.

Jika ajaran Islam ditambah atau dikurangi, maka Islam tidak lagi murni dan potensial menjadi sekte, aliran, atau bahkan agama baru.

ISLAM dan Muslim itu beda.  Islam itu agama atau ajarannya. Muslim itu penganut agama atau orangnya. Menyamakan istilah Islam dan Muslim adalah cara pandang keliru kaum kafir.

Jika ada Muslim berbuat salah, maka yang salah bukan Islamnya, tapi orang itu mengamalkan ajaran Islam secara salah.

Ungkapan populer "Al-Islamu mahjubun bil muslimin" (Islam ternodai oleh perilaku buruk kaum Muslim) juga mengindikasikan betapa Islam dan Muslim itu berbeda.

Maka, sekali lagi, istilah Islam Nusantara adalah keliru. Yang benar, Muslim Nusantara, sebagaimana Muslim Eropa atau Muslim Amerika dsb.

Baca juga: Pengertian Islam Menurut Al-Quran

Islam Nusantara hanya membuat bingung orang awam, seolah-olah ada banyak Islam, padahal Islam hanya satu, yakni Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan bersumberkan wahyu (Al-Quran), hadits, dan ijma' ulama. Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*

Tafsir QS An-Nahl:98-100 - Ta'udz Sebelum Baca Quran & Godaan Setan

Tafsir QS An-Nahl:98-100 - Perintah Ta'udz Sebelum Baca Quran
Tafsir Ibnu Katsir Al-Quran Surat An-Nahl ayat 98-100. Perintah ta'udz sebelum baca Al-Quran. Orang beriman & tawakal tidak mempan digoda dan dikuasai setan.

JIKA kita membaca Al-Quran, disunahkan membaca ta'udz atau ta'awudz, yaitu membaca a'udzu billahi minsy syaithoonir rojiem, yang artinya "aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".
 
Dalam ayat ini juga ditegaskan, setan tidak akan mampu menggoda ataupun menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Allah SWT.

{فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (98) إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (99) إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ (100) }

Apabila kalian membaca Al-Qur’an, hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk (98). 

Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya (99). 

Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah (100).
 

Perintah ini dari Allah, ditujukan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya; bahwa apabila mereka hendak membaca Al-Qur'an, terlebih dahulu hendaklah meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Perintah ini adalah perintah sunat, bukan perintah wajib, menurut kesepakatan ulama yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir dan lain-lainnya dari kalangan para imam.

Dalam pembahasan isti'azah dalam permulaan tafsir ini telah disebutkan sejumlah hadis yang menerangkan tentang isti'azah secara panjang lebar.

Makna membaca isti’azah pada permulaan membaca Al-Qur'an dimaksudkan agar si pembaca tidak mengalami kekeliruan dalam bacaannya yang berakibat campur aduk bacaannya sehingga ia tidak dapat merenungkan dan memikirkan makna apa yang dibacanya.

Untuk itulah jumhur ulama berpendapat bahwa bacaan istia'zah itu hanya dilakukan sebelum bacaan Al-Qur'an.

Akan tetapi, telah diriwayatkan dari Hamzah dan Abu Hatim As-Sijistani bahwa isti'a'zah dilakukan sesudah membaca Al-Qur'an. Keduanya mengatakan ini dengan berdalilkan ayat di atas.

Imam Nawawi di dalam Syarah Muhazzab mengatakan pula hal yang semisal dari Abu Hurairah, Muhammad ibnu Sirin, dan Ibrahim An-Nakha'i.

Tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama (yakni bacaan ta'awwuz dilakukan sebelum membaca Al-Qur'an), karena berdasarkan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa ta'awwuz dilakukan sebelum membaca Al-Qur'an.

Firman Allah Swt.:

{إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}

Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. (An-Nahl: 99).

As-Sauri mengatakan, makna yang dimaksud ialah setan tidak mempunyai kekuasaan untuk dapat menjerumuskan hamba-hamba Allah ke dalam suatu dosa yang mereka tidak bertobat darinya.

Ulama lainnya mengatakan bahwa makna ayat ialah setan tidak mempunyai kemampuan untuk menggoda mereka. Ulama lainnya lagi mengatakan, ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:

{إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ}
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka (Al-Hijr: 40; Shad: 83)

Firman Allah Swt.:

{إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ}

Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin. (An-Nahl: 100)

Mujahid mengatakan, makna yatawallaunahu ialah orang-orang yang taat kepada setan. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa orang-orang yang menjadikan setan sebagai penolongnya, bukan Allah.

{وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ}

sedangkan mereka mempersekutukannya dengan Allah. (An-Nahl: 100)

Yakni mereka mempersekutukan setan dengan Allah dalam penyem­bahannya. Dapat ditakwilkan bahwa huruf ha pada ayat ini bermakna sababiyah, yakni 'disebabkan ketaatan mereka kepada setan, jadilah mereka orang-orang yang mempersekutukan Allah Swt.'.

Ulama lainnya mengatakan bahwa makna ayat ialah mereka bersekutu dengan setan dalam harta benda dan anak-anaknya.

Demikian Tafsir QS An-Nahl:98-100. Semoga kita dapat mengamalkannya dengan baik. Semoga pula kita menjadi orang beriman dan tawakal (berserah diri) kepada Allah SWT sehingga tidak mempan digoda dan dikuasai setan la'natullah. Amin! (www.risalahislam.com).*

Sumber: Tafsir Ibnu Katsir

Hukum Bersalam-Salaman Setelah Sholat Berjamaah

Hukum Bersalam-Salaman Setelah Sholat Berjamaah
DI banyak masjid, kita bisa temukan jamaah shalat bersalam-salaman (saling berjabat tangan) setelah salam atau sekesai sholat berjamaah, baik salaman ke kiri-kanan, maupun salaman khusus berdiri. Bagaimana hukumnya? Apakah dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabat?

Belum ditemukan dalil atau riwayat yang menyebutkan Rasulullah Saw dan para sahabat bersalam-salaman usai shalat berjamaah.

Namun, bukan berarti bersalaman usai shalat berjamaah itu dilarang, karena juga belum ditemukan dalil yang melarangnya, sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi: "...tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa..."

Yang jelas, bersalaman bukan termasuk syarat dan rukun shalat, atau tidak termasuk bagian dari prosesi shalat berjamaah. Bersalaman dilakukan setelah shalat selesai. Ibaratnya, jika shalat sudah selesai, maka apa pun kegiatan yang dilakukan tidak masuk dalam proses ritual ibadah shalat.

Namun, karena tidak ada dalil dan contoh dari Rasul, maka bersalaman usai shalat berjamaah itu tidak boleh diyakini sebagai keharusan, apalagi jika dianggap sebagai bagian dari prosesi shalat berjamaah. Jika keyakinannya demikian, maka jatuhnya bisa bid'ah, yaitu mengada-ada amalan yang tidak dicontohkan Rasululullah Saw.

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).

DUA PENDAPAT BERSALAMAN USAI SHALAT BERJAMAAH
Karena tidak ada dalil soal salaman sehabis shalat fardu berjamaah, ulama pun berbeda pendapat soal hukumnya. Ada yang menyatakan bid'ah.

Ada pula yang menyatakan boleh (mubah), selama tidak diyakini sebagai hal yang wajib dan tidak diyakini sebagai bagian dari ritual shalat berjamaah.

1. BID'AH

Ulama yang berpendapat bersalaman setelah shalat berjamaah itu bid'ah antara lain Syeikh Ibnu Taimiyah. Dalam  kitab Majmu’ Fatawa disebutkan:

وسئل: عن المصافحة عقيب الصلاة: هل هي سنة أم لا؟ فأجاب: الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة. والله أعلم

Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339)

Ulama lainnya, Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam fatwanya beliau berkata:


المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح بعضهم

"Bersalaman antara seorang laki-laki dengan saudaranya adalah sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah).

2. MUBAH (BOLEH)
Sebagian ulama lain membolehkan jabat tangan usai shalat fardu, asalkan tidak diyakini sebagai kewajiban dan tidak dianggap bagian dari ritual shalat berjamaah.

Di antara ulama yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat adalah Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i yang menyebutkan bersalaman setelah shalat Subuh dan ‘Ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah).

"Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) di antaranya adalah bersalaman setelah Subuh dan ‘Ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173).

Imam an-Nawawi as-Syafi’i (w. 676 H) termasuk ulama yang berpendapat boleh bersalaman selepas shalat:

"Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat Subuh dan ‘Ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam).

HUKUM BERJABAT TANGAN SECARA UMUM

Secara umum, bersalam-salaman (jabat tangan) itu sunah Rasul. Islam menganjurkan demikian untuk memperkuat kasih sayang dan ukhuwah sesama Muslim.

Namun, dalil-dalilnya berlaku umum dan tidak ada satu pun yang menyebutkan soal berjabat tangan usai shalat berjamaah.

مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم

Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya bersalam-salaman itu disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menyalami para sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling bertemu mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi mengatakan:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“Para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka saling berpelukan”.
Budaya bersalaman (jabat tangan) adalah perkara yang masyhur diantara kaum Muslimin pada zaman Nabi Muhammad Saw.

Maka dianjurkan bersalam-salaman ketika bertemu di luar masjid, di shaf, atau sebelum shalat dimulai. Jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, maka hendaknya setelah shalat, dengan syarat:
  1. Tidak wajib dan bukan bagian dari ritual shalat berjamaah.
  2. Tidak mengganggu doa atau dzikir yang tengah dilakukan usai salam karena yang disyariatkan usah shalat adalah doa atau dzikir.
Demikian ulasan singkat tentang Hukum Bersalam-Salaman Setelah Sholat Berjamaah. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Referensi: 
  • http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-salam-salaman-setelah-shalat.html
  • http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/salaman-setelah-sholat-bid-ahkah.htm
  • http://www.syariahonline.com/v2/shalat/2627-bersalaman-setelah-shalat-jamaah
  • http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1358501611&=benarkah-bersalam-salaman-seusai-shalat-itu-bid%27ah.html

Hukum Memiliki & Mengendarai Motor Gede dalam Islam

Moge Meresahkan
Hukum memiliki & mengendarai Motor Gede (Moge) dalam pandangan Islam. Jika lebih banyak madoratnya, Moge termasuk "Syuhrah" yang diharamkan Islam.

PEMILIK dan/atau pengendara Motor Gede (Moge) kerap meresahkan dan membuat geram masyarakat. Bahkan, tidak sedikit anggota masyarakat yang jadi korban arogansi Moge di jalan raya.

Moge dikenal sebagai "gaya hidup mewah", juga cenderung menjadi "geng motor" yang meresahkan. Kasus terbaru, konvoi Moge meresahkan warga Yogyakarta. Ketahuilah, keberadaan Moge di jalan raya, lebih banyak membuat geram pengendara lain daripada membuat kagum.

Jika Moge lebih banyak madoratnya ketimbang manfaatnya, maka hukum memiliki dan mengendarai Moge bisa jatuh ke HARAM. Sebab, hukum Islam itu didasarkan pada unsur madorat-manfaat, sebagaimana hukum haram khamr (minuman keras/memabukkan).

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al Maidah : 90)
 
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir." (QS. Al Baqarah : 219).

Mode juga bisa seperti khamr dalam hal "memabukkan", yakni membuat pemilik/pengendaranya "mabuk pamer", mabuk pujian, dan bertingkah layaknya orang mabuk --hilang akal sehat, melanggar aturan, melanggar lalu lintas, takabur, arogan, angkuh, ujub, dsb.

Kita bisa bertanya, apa manfaat Moge bagi masyarakat umum? Nyaris tidak ada! Manfaat Moge hanya dirasakan oleh pemiliknya, yaitu rasa bangga atau bahkan "pamer" kekayaan.

Memiliki atau menggunakan kendaraan untuk tujuan pamer, menunjukkan rasa takabur, takjub, "gagah-gagahan", juga bertentangan dengan ajaran Islam. Makin kuatlah hukum Moge ke HARAM karena Moge bisa dianalogikan (qiyash) sebagai "pakaian Syuhrah", yakni sesuatu yang dikenakan untuk pamer, mendapatkan pujian, atau membuat pemilik/pemakai jadi takabur (somong) alias arogan.

Islam melarang kaum Muslim mengenakan pakaian syuhrah sebagaimana hadits Nabi Saw:

“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasai).

Syuhroh itu, menurut para ulama, artinya “mengundang perhatian banyak orang”, baik karena berlebihan maupun karena “terlalu jelek”.

Dalam Mutiara Hadits disebutkan, Rasulullah Saw bersabda:

"Barangsiapa memakai baju kemewahan (karena ingin dipuji), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, lalu akan dilahab oleh api neraka. Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah ia berkata, Yaitu baju kehinaan." [HR. Abu Daud No.3511].

Memiliki Moge sama dengan memiliki kekayaan dan itu fitrah manusia:

"Dijadikan indah pada  manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak  dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik." (QS. Ali Imrah : 14).

Namun, kekayaan sejati adalah kekayaan yang membawa manfaat bagi diri dan sesama, bukan mendatangkan madorat.

Moge lebih cenderung mendatangkan madorat bagi pemiliknya --pamer, ujub, takabur, arogan-- dan bagi orang lain --mengganggu ketenangan jalan raya, potensial mencelakakan pengendara lain. 

Moge bukan kendaraan umum, bukan pula seperti unta dan kuda yang berguna bagi transportasi pribadi. Sekali lagi, jika Moge lebih banyak mendatangkan madorat ketimbang manfaat, maka hukumnya bisa jatuh ke haram, berdasarkan dali-dalil di atas. Wallahu a'lam bish-showabi. (www.risalahislam.com).*

Risalah Ibadah Kurban dan Akikah

Risalah Ibadah Kurban dan Akikah
Risalah Ibadah Kurban dan Akikah di Hari Raya Idul Adha.

TIAP menjelang Idul Adha atau Idul Qurban, sering muncul pertanyaan seperti "Mau berkurban, tapi belum akikah, apakah akikah dulu baru kurban atau saya bisa langsung berkurban?"

Jawaban ringkas atas pertanyaan tersebut adalah utamakan ibadah kurban.

Pasalnya, akikah itu disunahkan kepada orangtua kita waktu kita lahir, bukan kepada diri kita. Kalau orangtua dulu waktu kita lahir tidak mampu akikah, tidak apa-apa. Namanya juga sunah, tidak berdosa tidak dilaksanakan dan berpahala jika dilakukan.

Jadi, yang terkena hukum sunah akikah itu orangtua kita. Bagi kita sekarang, bagi yang mampu, sunnahnya adalah ibadah kurban, bukan akikah.

Meski demikian, ulama membolehkan akikah sendiri sesudah dewasa, waktu akikah bisa kapan saja, tidak harus bulan Dzulhijjah atau bersamaan dengan Idul Adha.

Kurban (Qurban/Udhiyah) adalah ibadah dengan menyembelih hewan kurban (domba, kambing, atau sapi) dengan niat ibadah karena Allah SWT.

Waktu penyembelihan hewan kurban adalah 4 hari, hari Iedul Adha dan tiga hari sesudahnya. Waktu penyembelihannya berakhir dengan tenggelamnya matahari di hari keempat yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.

Akikah (Aqiqah) adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh setelah kelahiran seorang anak. Menurut bahasa, akikah berarti pemotongan. Hukumnya sunah muakkadah bagi mereka yang mampu, bahkan sebagian ulama menyatakan wajib.

Demikian ulasan ringkas tentang  Risalah Ibadah Kurban dan Akikah. Baca juga betapa besar keutamaan dan pahala Ibadah Kurban di Hari Idul Adha. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Sholat Sunat Rawatib Menutupi Kekurangan Shalat Wajib

sholat
Pengertian dan Macam-Macam Shalat Sunah Rawatib serta pahala bagi yang Melakukannya.

SHALAT sunat akan menutupi kekurangan sholat wajib (fardhu) yang lima waktu --Subuh, Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan Isya. Siapa mendawamkan shalat sunah rawatib akan dibangunkan rumah di surga.

Sholat sunah rawatib adalah sholat sunat sebanyak dua hingga empat rokaat yang dilakukan sebelum dan/atau sesudah shalat wajib / fardhu.

مَنْ صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ

"Barangsiapa sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan dibangunkan baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at setelah Zhuhur, 2 raka’at setelah Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi dan An-Nasai).

Berdasarkan hadits di atas, berikut ini jenis-jenis shala sunat rawatib yang mengiringi shalat fardhu:

  1. Sholat sunat Qobliyah Subuh (sholat sunat fajar), dilakukan sebelum Subuh 2 rokaat.
  2. Sholat sunat Qobliyah (sebelum) Zhuhur 4 rokaat
  3. Sholat sunat Ba'diyah (setelah) Zhuhur 2 rokaat
  4. Sholat sunat Ba'diyah (setelah) Maghrib 2 rokaat
  5. Sholat sunat Ba'diyah (setelah) Isya 2 rokaat
Sesuai dengan sunah Rasulullah Saw, tidak ada shalat sunah ba'diyah Subuh dan tidak ada pula shalat sunah qobliyah dan ba'diyah Ashar. Demikian pula tidak dikenal shalat qobliyah Jumat.

Menutupi Kekurangan Shalat Wajib

Amalan wajib yang pertama kali dihisab di akhirat adalah ibadah sholat. Sholat sunat bisa menutupi kekurangan sholat wajib ditegaskan dalam hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. berikut ini:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

"Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah ibadah Sholat. Rabb kita berkata kepada para malaikat-Nya sementara Dia Maha Mengetahui: "Lihatlah sholat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang?" 

Jika shalat wajibnya sempurna, maka dicatat baginya telah sempurna, dan bila kurang dari shalat wajibnya itu, Allah berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku ini memiliki amal ibadah sholat sunah?"
Apabila ia memiliki amal ibadah sholat sunat, Allah berfirman: "Sempurnakanlah untuk hamba-Ku shalatnya yang kurang dengan amal ibadah shalat sunahnya itu." Kemudian diambillah amal-amal shalat sunah itu untuk menyempurnakan amal ibadah shalat wajib yang kurang.

Dibangunkan Rumah di Surga

Bagi yang rajin shalat sunah rawatib juga ada pahala besar berupa bangunan di surga, sebagaimana hadits di atas dan hadits lainnya berikut ini:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib) sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muslim).

Semoga ulasan ringkas tentang shalat sunah ini menjadi motivasi bagi kita untuk rajin (mendawamkan) shalat sunah, baik sunat rawatib maupun yang lainnya seperti tahajud dan dhuha, guna kian mendekatkan diri kita kepada Allah SWT sehingga rahmat dan ampunan-Nya akan senantiasa dilimpahkan kepada kita. Amin....! (http://www.risalahislam.com).*

Referensi: Shahihain, Pedoman Shalat Hasby Ash-Shiddiqy, Shahih Fiqh Sunnah Abu Malik

Keutamaan Sedekah Hari Jumat

Keutamaan Sedekah Hari Jumat
Keutamaan Sedekah Hari Jumat Memadukan Dua Kebaikan.

Sedekah hari apa pun sangat utama. Namun, khusus hari Jumat, Allah memberinya pahala "lebih". Pasalnya, hari Jumat merupakan hari yang utama dalam Islam --hari raya mingguan umat Islam.

Amal yang dikerjakan di waktu mulia, memiliki nilai keutamaan yang lebih besar, dibandingkan amal yang dikerjakan di waktu kurang mulia. Demikian halnya sedekah yang dikerjakan di hari yang mulia, Jumat.

Keutamaan sedekah di Hari Jumat dikarenakan ada "gabungan" dua kebaikan itu, sedekah dan hari Jumat, yang sama-sama mulia dan penuh keutamaan, sebagaimana dikatakan Ibnu Qayyim:

"Sedekah pada hari itu (Jumat) dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, seperti sedekah pada bulan Ramadhan jika dibandingkan dengan seluruh bulan lainnya."

Keutamaan Sedekah

"Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak“. (QS. Al-Hadid: 18)

“Naungan orang mukmin pada hari Kiamat kelak adalah sedekahnya" (HR Ibnu Khuzaimah).

"Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan panas kuburan dari penghuninya. Dan sesungguhnya orang mukmin pada hari Kiamat kelak akan bernaung di bawah naungan sedekahnya.” (HR Ath-Thabrani dan al-Baihaqi).

Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api“.(HR. At-Tirmidzi).

Sesungguhnya sedekah itu benar-benar akan dapat memadamkan panasnya alam kubur bagi penghuninya, dan orang mukmin akan bernaung dibawah bayang-bayang sedekahnya“. (HR. At-Thabrani).

Sesungguhnya sedekahnya orang muslim itu dapat menambah umurnya, dapat mencegah kematian yang buruk (su’ul khotimah), Allah akan menghilangkan darinya sifat sombong, kefakiran dan sifat bangga pada diri sendiri“. (HR. Thabrani).

Keutamaan Hari Jumat
 
“Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat waktu mustajab. Bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan berdoa kepada Allah niscaya akan dikabulkan…” (Muttafaqun ‘Alaih).

"Sesungguhnya sedekah pada hari Jum’at itu memiliki kelebihan dari hari-hari lainnya. Sedekah pada hari itu dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, seperti sedekah pada bulan Ramadhan jika dibandingkan dengan seluruh bulan lainnya.” (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad).

“Dan sedekah pada hari itu (Jumat) lebih mulia dibanding hari-hari selainnya”. (HR Ibnu Khuzaimah, Mauquf Shahih).  

Demikianlah keutamaan sedekah hari Jumat. Tidak ada keterangan atau dalil khusus tentang keutamaan sedekah hari jumat, namun berdasarkan pemahaman ulama, sedekah hari jumat itu menggabungkan dua kebaikan --sedekah dan hari Jumat-- sehingga nyatalah adanya keutamaan sedekah di hari Jumat. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Bacaan Tasbih Saat Sujud dalam Shalat

Bacaan Tasbih Saat Sujud dalam Shalat
Bacaan Tasbih atau doa Saat Sujud dalam Sholat sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw

SUJUD adalah salah satu gerakan dalam shalat. Gerakan ini menyimbolkan kehambaan, kerendahan diri, dan kepasrahan kita kepada Allah SWT.

Sujud dalam shalat memiliki tempat tersendiri di sisi Allah SWT, sebagaiman hadits Nabi Saw:

"Tiadalah keadaan seorang hamba yg paling disukai oleh Allah daripada Dia melihat hamba-Nya itu di dalam keadaan bersujud, dengan meletakkan mukanya di tanah"  (HR. Imam Tabrani).

Sujud juga merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya di akhir ayat (19) QS. Al-'Alaq: "Wasjud Waqtarib", yang artinya "Dan bersujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah SWT".

Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW bersabda: "Kondisi yang paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa, hal itu patut untuk dikabulkan bagimu" (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan al-Nasai).

Kedudukan khusus sujud dalam Islam juga diisyaratkan dengan dijadikannya nama masjid --yang berakar kata sajada (sujud)-- sebagai nama tempat ibadah umat Islam atau rumah Allah (baitullah).

Setiap Muslim dipastikan bersujud setidaknya 34 kali sehari-semalam, yakni dalam shalat fardhu. Jika ditambah shalat sunah, jumlah sujud seorang Muslim dalam sehari tentu lebih banyak lagi.
Belum lagi jika melakukan sujud di luar shalat, seperti sujud syukur, yaitu sujud saat mendapatkan nikmat atau terhindar dari musibah.

BACAAN DALAM SUJUD: TASBIH
Cukup banyak doa, dzikir, tasbih, atau bacaan yang bisa kita ucapkan saat bersujud dalam shalat. Namun harus diingat, membaca bacaan tertentu dalam sujud ini hukumnya sunat, tidak wajib.

Artinya, jika tidak membaca apa-apa sekalipun dalam sujud, maka shalatnya tetap sah, asalkan sujud dilakukan secara thuma'ninah. (Baca: Tidak Sah Shalat Cepat Tanpa Thuma'ninah)

Namun, sangatlah merugi jika kita tidak membaca apa-apa ketika sujud dalam shalat. Rasulullah Saw memberikan contoh kepada kita sejumlah bacaan yang bisa kita ucapkan selama sujud dalam shalat.

Bacaan sujud dalam shalat termasyhur adalah bacaan tasbih (menyucikan Allah SWT). Dasar perintah (sunah) untuk membaca tasbih ketika sujud adalah firman Allah dalam Al-Quran:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكِ الأَْعْلَى

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi (QS. Al-A'la : 1).

Berdasarkan ayat itu pula, Rasulullah dalam sebuahn haditsnya menyatakan:

لَمَّا نَزَلَتْ فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ قَال رَسُول اللَّه  اجْعَلُوهَا فِي رُكُوعِكُمْ. فَلَمَّا نَزَلَتْ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكِ الأَْعْلَى قَال: اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ

"Dari Uqbah bin Amir bahwa ketika turun ayat (fasabbih bismirabbikal'adzhim), Rasulullah Saw bersabda, "Jadikanlah lafadz ini sebagai bacaan dalam rukukmu". Dan ketika turun ayat (sabbihismarabbikal 'ala), Rasulullah Saw memerintahkan,"Jadikanlah lafadz ini bacaan di dalam sujudmu". (HR. Abu Daud).

Ulama umumnya bersepakat, salah satu lafadz tasbih yang dibaca dalam sujud ketika shalat adalah :

سبحان ربي الأعلى

"Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi".

BACAAN SUJUD LAINNYA
Selain "subhana Rabbiyal a'la", masih ada beberapa bacaan tasbih atau dzikir lainnya dalam sujud, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw, sebagai berikut:

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَقُوْلُ فِى رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ: سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ. احمد و مسلم و ابو داود و النسائى، فى نيل الاوطار

Dari 'Aisyah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW membaca di dalam ruku'nya dan sujudnya Subbuuhun Qudduusun Robbul malaaikati war-ruuh (Tuhan yang Maha Suci lagi Maha Qudus, Tuhan pemelihara Malaikat dan ruh). (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Nasai, dalam Nailul Authar]

Ada juga bacaan sujud berikut ini:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Subhaa-nakallahumma rabbanaa wa biham-dika allaahum-maghfil-lii
Dalam hadits disebutkan, Nabi Saw banyak membaca doa ini dalam rukuk dan sujudnya, setelah turun surat An-Nashr. Beliau lakukan demikian, dalam rangka mengamalkan perintah di akhir QS. An-Nashr. (HR. Bukhari).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُكْثِرُ اَنْ يَقُوْلَ فِى رُكُوْعِهِ وَ سُجُوْدِهِ: سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللّهُمَّ اغْفِرْلِى، يَتَأَوَّلُ اْلقُرْآنَ. الجماعة الا الترمذى، فى نيل الاوطار

Dari 'Aisyah, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW memperbanyak membaca di dalam ruku' dan sujudnya Subhaanakalloohumma robbanaa wa bihamdikalloohummaghfirlii (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami dan dengan memuji-Mu, ya Allah ampunilah aku), yaitu beliau mengamalkan perintah Al-Qur'an:

فَسَبّحْ بِحَمْدِ رَبّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ

[HR. Jama'ah, kecuali Tirmidzi, dalam Nailul Authar].

Bacaan tasbih dalam sujud lainnya:
 
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Subhaanaka allahumma wa bihamdika laa ilaaha illa anta
Berdasarkan keterangan 'Aisyah, doa ini dibaca Nabi Saw ketika beliau sujud pada saat shalat malam (tahajud).

Demikian beberapa bacaan tasbih saat sujud dalam sholat. Kita bisa memilih salah satu di antara doa yang sudah diajarkan Rasulullah Saw tersebut. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Sumber: Shahihain, Bulughul Maram, Sifatu Shalatin Nabi, Pedoman Shalat TM Hasbi Ash-Shiddiqiy

Adakah Sholat Sunat Qobliyah Jumat?

Adakah Sholat Sunat Qobliyah Jumat?
ADAKAH Adakah Sholat Sunat Qobliyah Jumat, yaitu shalat sunah 2 rakaat seperti halnya sholat sunah rawatib qobliyah Zhuhur, 'Ashar, Magrib, Isya, dan Subuh?

Sholat Sunat Qobliyah Jumat merupakan masalah khilafiyah, yaitu ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Namun, merujuk pada berbagai dalil dan bahasan yang selama ini muncul seputar qobliyah Jumat, tampak jelas bahwa Rasulullah Saw tidak mencontohkan adanya shalat sunah qobliyah Jumat.

Rasulullah Saw hanya menganjurkan jamah shalat Jumat shalat dua roka'at begitu masuk masjid, sebelum duduk, untuk kemudian menunggu dan mendengarkan khotbah Jumat dan shalat Jumat.

Hal itu didasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Qatadah as-Sulami ra. Rasulullah Saw bersabda:  “Siapa pun di antara kalian masuk ke dalam masjid, shalatlah dua rakaat sebelum duduk.” (HR Bukhari).

Shalat sunah ini kemudian dikenal dengan sebutan "shalat tahiyatul masjid", yaitu shalat untuk memberi penghormatan kepada masjid sebagai rumah Allah (baitullah).

Akibat Adzan Jumat Dua Kali
Munculnya masalah sholat sunah qobliyah Jumat ini antara lain disebabkan banyak masjid yang mengumandangkan adzan dua kali, yakni sebelum khatib naik mimbar dan setelah khotib naik mimbar.

Pada zaman Rasulullah, adzan Jumat sekali saja, yaitu ketika sudah masuk waktu shalat, lalu khotib naik mimbar, dan adzan dikumandangkan. Setelah adzan, khotib menyampaikan khotbah dan jamaah shalat Jumat menyimaknya. Selesai khotbah, shalat Jumat pun dilaksanakan.

Dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan, dari Sa'ib, ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". (Shahih al-Bukhari: 865).

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja.

Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan umat Islam sudah begitu banyak dan tempat tinggalnya banyak yang jauh dari masjid, maka Khalifah Utsman menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.

Nah, setelah adzan pertama itu, banyak jamaah yang berdiri dan melaksanakan sholat sunah, sebelum khotib naik mimbar.

Dua Pendapat Shalat Sunah Qobliyah Jumah

Ada dua pendapat tentang shalat sunah qobliyah Jumat ini.

1. Tidak Ada Qobliyah Jumat
Pendapat terpopuler di kalangan ahli sunnah --kaum Muslim yang berusaha mengikuti sunah Rasulullah Saw tanpa menambah atau mengurangi amalan-- bahwa tidak ada yang namanya shalat qobliyah Jumat.

Salah satu dalilnya adalah hadits shahih riwayat Bukhari yang menunjukkan tahapan prosesi ibadah Jumat yang sama sekali tidak menyebutkan adanya shalat qobliyah Jumat:

Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid), kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya (shalah sunah dua rokaat sebelum duduk), lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Salah seorang ulama Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al-Asqolani, dalam kitabnya menyatakan: “Adapun shalat sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari).

Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan:  “Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum’at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. (Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat ‘ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qobliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”

Jadi, ketika kita masuk masjid, jika kita bukan imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul masjid dan boleh menambah shalat sunnah dua raka’at tanpa dibatasi yang dinamakan "shalat sunah mutlak". Shalat sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam naik mimbar.

Anjuran Rasulullah Saw
Hadits yang paling sohih dalam masalah ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah (Talkhishu Al-Hobiir, 2/74) dari Daud bin Rosyid dari Hafshin bin Ghiyast dari Al-A'mas dari Abu Soleh dari Abu Hurairoh dari Abu Sofyan dari Jabir. Mereka berdua berkata:

"Telah datang Sulaik Al-Ghotofani sedangkan Rasulullah s.a.w. dalam keadaan berkhotbah kemudian beliau bersabda kepadanya: "Apakah kamu sudah shalat sebelum kamu datang?" Dia berkata, "Tidak". Beliau bersabda: "Maka shalatlah dua rakaat dan lakukanlah dengan ringan".

2. Ada Qabliyah Jumah
Pendapat kedua menyatakan ada. Dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at ada Hadist Rasulullah Saw yang menganjurkan shalat sunah sebelum sholat fardhu:

"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban).

Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah, termasuk Shalat Jum'at.

Sholat Sunat Ba'diyah Jumat
Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. Jumlah rokaatnya empat. Ini tidak ada perdebatan, kecuali sebagian ulama membolehkannya dua rokaat.

"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at hendaklah shalat empat raka’at setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian hukum seputar sholat sunah qobliyah Jumat. Tidak usah menjadi "ribut" atau berselisih, apalagi ini hukumnya sunat, bukan wajib. Yang penting, mari sholat Jumat dengan baik dan benar, minimal dengarkan khotbah dengan baik dan shalat. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Referensi: 
 IslamQA
NU Online

Islam Ajarkan Umatnya Peduli Sesama & Menuntut Ilmu

Islam Ajarkan Umatnya Peduli Sesama & Menuntut Ilmu
PEDULI sesama, yakni peduli terhadap orang yang membutuhkan bantuan, dan menuntut ilmu merupakan bagian dari ajaran risalah Islam.

Dalam sebuah hadits shahih yang cukup panjang, Rasulullah Saw mengajarkan kita agar peduli terhadap sesama, membantu kesulitan orang lain, dan menuntut ilmu.

Yang dimaksud peduli sesama yaitu peduli kepada orang lain yang membutuhkan bantuan, baik bantuan materi maupun non-materi (nasihat, ilmu, keterampilan).

Diriwayatkan oleh Muslim, juga oleh Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dll. dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ  (رواه مسلم)

  1. Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat.
  2. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.
  3. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat.
  4. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.
  5. Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan baginya jalan ke surga.
  6. Tidaklah sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah (masjid/majelis taklim) dalam rangka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi para malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk yang ada di sisiNya.
  7. Siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.

Setiap orang punya masalah, karena masalah merupakan bagian dari fitnah (ujian) hidup. Islam menegaskan agar umatnya menolong orang lain yang sedang dalam masalah.

Sebagai imbalannya, bukan saja mendapat pahala kebaikan, tapi orang yang suka membantu atau menolong sesama juga akan dibantu oleh Allah SWT jika dirinya dalam kesulitan.
"
"Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat". Demikian ditegaskan dalam hadits di atas.

Dalam hadits lain Rasulullah Saw menegaskan, manusia terbaik adalah yang suka menolong dan bermanfaat bagi sesama.

Dalam riwayat lain disebutkan, dari Ibnu Umar, bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata, ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah  dan amal apakah yang paling dicintai Allah Swt?” 

Rasulullah Saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan."

Islam, melalui sabda Nabi Saw di atas, juga menegaskan agar umatnya membekali diri dengan ilmu, termasuk ilmu agama, mendalami ajaran Islam, dan menuntut ilmu itu merupakan kunci pembuka jalan menuju surga Allah SWT.

Semoga kita diberi kekuatan untuk peduli sesama dan menuntut ilmu. Amin...! Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*