Hukum Membaca Al-Quran di HP Tanpa Wudhu

 Al-Quran di HP
Bagaimana Hukum Membaca Al-Quran di HandPhone (HP), Ponsel, atau SmartPhone Tanpa Wudhu?

Dari berbagai referensi, disimpulkan, Hukum Membaca Al-Quran di HP Tanpa Wudhu itu BOLEH dengan alasan Al-Quran di HP bukan kategori mushaf.

Huruf Al-Qur’an yang terdapat di peralatan ini berbeda dengan keberadaan huruf di mushaf. Sifat yang dibacanya tidak ada. Yang ada adalah sifat gelombang yang terdiri dari huruf dengan gambarnya ketika diminta, barulah akan terlihat di layar dan akan hilang ketika dipindah ke yang lainnya.

Kalaupun Al-Quran di HP dianggap sama dengan mushaf, maka juga dibolehkan membacanya tanpa wudhu, karena sebagian ulama membolehkan memegang mushaf Al-Quran tanpa wudhu.

Membaca Al Quran sambil menyentuh mushaf, para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya, ada juga yang mensyaratkan harus terbebas dari hadats besar dan hadats kecil.

Perbedaan terjadi akibat perbedaan penafsiran ayat berikut ini:

“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhmahfuz), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur’an ini?” (QS. Al-Waqi’ah:77-81).

Sebagian ulama mengatakan, yang dimaksud "tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" adalah para malaikat yang suci. Jadi, bukan bermaksud mewajibkan wudhu bagi yang akan menyentuh mushaf Al-Quran.

Sebagian ulama lainnya berpendapat, yang dimaksud "tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" adalah keharusan berwudhu.

Demikian uraian singkat tentang Hukum Membaca Al-Quran di HP Tanpa Wudhu. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Sumber:
http://islamqa.info/id/106961
http://www.elhooda.net/2017/09/hukum-membaca-al-quran-digital-di-hanphone/
http://www.syariahonline.com/v2/ibadah/3142-aplikasi-alquran-dalam-hp.html

Pengertian & Implementasi Cinta Rasul

Cinta Rasul
Ada dua macam ekspresi cinta kepada Rasulullah Saw, yakni athfiyah dan Minhajiyah. Menjadikan beliau sebagai teladan dan shalawat juga bentuk Cinta Rasul.

MENCINTAI Nabi Muhammad Rasulullah Saw adalah kewajiban setiap Muslim. Kecintaan (mahabbah) kepada Rasul bahkan harus melebihi kecintaan kepada keluarga, kerabat, orang lain, dan harta kekayaan.

"Katakanlah: jika bapak bapak, anak anak, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rosul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mandatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang fasik." (QS At-Taubah [9]:24).

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw menyatakan: "Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, atau seluruh manusia" (H.R. Bukhari).

Ketika Umar Ibn Khattab r.a. mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Tidaklah beriman seorang di antara kalian sehingga aku lebih ia cintai dari bapaknya, anaknya, dan dari semua manusia", ia berkata: "Demi Allah, wahai Rasulullah saw. sungguh Engkau telah aku cintai lebih dari semuanya, kecuali dari diri saya sendiri".

Mendengar ungkapannya Rasulullah Saw bersabda: "Tidak Umar, sampai Engkau mencintai aku melebihi cintamu terhadap dirimu sendiri". Umar menjawab: "Sekarang wahai Rasulullah Saw sungguh Engkau telah aku cintai melebihi diriku sendiri".

Pengertian Cinta Rasul

Cinta Rasul yakni menjadikan Rasulullah Saw sebagai suriteladan, sebagaiman ditegaskan dalam Al-Quran:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu, suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pertemuan dengan) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut (nama) Allah." – (QS. Al-Ahzab [33]:21).
 
Dalam ayat di atas disebutkan, mereka yang menjadikan Rasul sebagai teladan adalah orang-orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan Hari Kiamat serta banyak berdzikir kepada-Nya.

Implementasi Cinta Rasul

Dengan demikian, perwujudan utama Cinta Rasul adalah meneladani akhlak dan perilaku Rasulullah Saw dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Saw terangkum dalam sifat-sifatnya yang mulia, yakni: 
  1. Shiddiq --jujur, selalu berkata benar, dan membela kebenaran. Mustahil berbohong.
  2.  Amanah --terpercaya, dapat dipercaya. Mustahil khianat.
  3. Tabligh --menyampaikan kebenaran. Mustahil menutupi kebenaran.
  4. Fathohat --smart, cerdas, piawai mengatasi masalah dan menyikapi situasi-kondisi.
 

    Shalawat sebagai Wujud Cinta Rasul

    Sering membaca shalawat adalah juga wujud kecintaan kepada Rasulullah Saw. Shalawat yaitu mendoakan keselamatan dan menjunjung kemuliaan beliau Saw.

    Imam Bukhari menyebutkan, daripada Ka’ab bin ‘Ajrah, yang berkata bahwa Nabi Saw ditanya: “Ya Rasulullah, salam kepada tuan telah kami ketahui, namun bagaimana dengan shalawat?” Rasulullah Saw menjawab, “Katakanlah oleh kamu, ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ali Muhammad.”

    Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Ya Rasulullah, ini adalah salam, namun bagaimana kami mengucapkan sholawat kepada tuan?” Rasulullah menjawab, “Katakanlah oleh kamu ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa‘ali Muhammad.”

    Dalam Al-Quran disebutkan: 
    نَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
    "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." – (QS.33:56).

    Seorang muslim yang cinta Rasul juga akan selalu mengucapkan shalawat saat mendengar nama Muhammad Saw disebut:

    رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

    “Celakalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” (HR. Ahmad dan Turmudzi).

    الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ، ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

    “Orang yang bakhil (kikir) adalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” (HR. Ahmad).

    Dua Macam Cinta Rasul 

    Ada dua macam ekspresi cinta kepada Rasulullah. 

    Pertama, Athfiyah. 
    Cinta ini bersifat emosional, bergelora, dan penuh kehangatan yang melahirkan ghirah dan kesiapan untuk membela atau melindungi. 

    Dengan cinta athfiyah umat Islam tidak akan membiarkan pribadi Rasulullah dihina, dilecehkan, atau dihujat orang. 

    Kedua, Minhajiyah. 
    Cinta jenis ini bukan semata-mata perasaan, tetapi lebih dari itu ditunjukkan dalam bentuk perbuatan menaati aturan Islam dan menjalankan Sunah Rasulullah Saw.

    Umat Islam sering "diuji coba" kecintaannya kepada Rasulullah oleh mereka yang menghujat beliau. Padahal, sebagaimana umumnya cinta, ia dapat menjadi sebuah kekuatan dahsyat bak badai yang bergelombang siap menghempas kapal besar sekalipun.

    Sebagai umat Islam yang mencintai Rasulullah, kita hendaknya selalu waspada akan adanya pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan kekuatan cinta itu untuk kepentingan mereka.
    Cinta mendorong seseorang untuk siap membela, melindungi, dan menuruti apa saja kemauan orang yang dicintai itu.

    Kekuatan cinta (power of love) dapat menghilangkan rasa takut, menimbulkan kekuatan dahsyat, motivasi, dan kesiapan mengerahkan segala daya. Wallahu a'lam bish-shawabi. Alloohumma sholli 'alaa Muhammad.... (www.risalahislam.com).*

    Bahaya Uang & Makanan Haram Hasil Menipu

    Bahaya Uang & Makanan Haram
    Bahaya Uang & Makanan Haram Hasil Menipu dan Mencuri, termasuk Korupsi, Manipulasi, dan Perbuatan curang lainnya.

    ARTIKEL soal uang dan makanan haram ini ditulis setelah admin berkali-kali menemukan informasi di media sosial tentang Penipuan Kasir Minimarket, Pungli Polisi, Penipuan Isi BBM di SPBU, dan sebagainya.

    Para kasir, polisi, petugas SPBU yang melakukan penipuan dan/pungli tersebut sama saja dengan PENCURI dengan hukuman potong tangan dalam Islam.

    Uang yang didapat dari hasil menipu, berdusta, mencuri, merampok, korupsi, dan cara-cara tidak halal lainnya, jelas berstatus HARAM. Makanan, minuman, dan pakaian yang dibeli oleh uang tersebut pun jadi haram pula, karena sumbernya yang haram.

    Bahaya Uang & Makanan Haram

    Apa akibatnya jika mengkonsumsi uang dan makanan haram?

    Secara ringkas, akibat mendapatkan dan menggunakan uang hasil menipu dan mencuri a.l. doa tidak terkabul, hati menjadi keras, anak dan istri yang turut mengkonsumsinya juda terkena dampak (keras hati), dan tentu ada adzab Allah SWT lainnya.

    Yang jelas, uang dan makanan/minuman haram Tidak Berkah dan hanya akan mendatangkan dosa dan malapetaka, cepat atau lambat.

    “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas untuk menyentuhnya” (HR Tirmidzi)
     

    ALKISAH, seorang pengembara berjalan tertatih-tatih. Kelelahan tampak pada raut muka dan rambutnya yang tak teratur dan penuh debu, menandakan ia telah menempuh perjalanan jauh.

    Merasa tanpa daya lagi, ia menengadahkan tangannya ke langit, berdoa untuk memohon pertolongan Allah SWT. Terucap dari mulutnya: "Ya Rabbi, Ya Rabbi!"

    Namun, doa sang pengembara tersebut tidak dikabulkan Allah SWT. Mengapa? “Bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya, sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram,” tegas Nabi Saw.

    Kisah yang digubah dari sebuah hadits riwayat Muslim, sebagaimana tercantum dalam Shahih Muslim itu, secara jelas mengabarkan, doa orang yang suka memakan makanan haram atau meminum minuman haram, dan memakai pakaian haram, ditolak oleh Allah SWT (mardud).

    Pesan yang hendak disampaikan hadits di atas, tentu saja bukan semata agar kita memakan, meminum, dan memakai barang halal supaya doa kita makbul.

    Doa tidak terkabul lantaran dalam diri seseorang yang berdoa itu penuh barang haram, mengisyaratkan pula betapa tidak maslahat dan hinanya barang haram jika kita makan atau pakai.

    Apalagi, dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, setiap tubuh yang dibesarkan dengan cara yang haram, maka neraka lebih layak baginya.  

    "Makanan haram termasuk kotoran, bukan makanan yang baik," tulis Imam Al-Ghazali dalam Kitabul Arba'in fi Ushuliddin.

    Haram dikategorikan ke dalam dua macam: haram lizatihi dan haram li'ardihi.
    1. Haram Lidzatihi adalah perbuatan yang ditetapkan haram sejak semula, karena secara tegas mengandung mafsadat (kerusakan), seperti berzina, mencuri, meminum khamar, memakan daging babi, riba, dan memakan harta anak yatim (Q.S. Al-An'am:151, Al-Maidah:90 dan 96, Al-Baqarah:228, Al-Isra:32, An-Nisa:10).
    2. Haram Li'ardhihi adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan, kemudian ditetapkan haram karena ada sebab lain yang datang dari luar. Misalnya, shalat dengan pakaian hasil tipuan atau bersedekah dengan harta hasil mencuri.

    Islam menggariskan, umatnya harus selalu mengkonsumsi barang halalan thayiba (halal lagi baik) dan cara mendapatkannya juga harus halal.

    Barang haram --seperti daging babi-- umumnya umat Islam menghindarinya. Namun tentang "cara mendapatkan rezeki halal", banyak umat yang mengabaikannya.

    Padahal, barang halal pun jika didapat dengan cara haram, seperti pencurian, penipuan, korupsi, suap, dan sebagainya, maka barang itu pun haram dikonsumsi.

    Di akhirat nanti, kepemilikan dan penggunaan harta kekayaan akan dimintai pertanggungjawabannya dari berbagai arah:
    • Dari mana didapatkan
    • Bagaimana mendapatkannya
    • Digunakan untuk apa 
    Jika harta didapat dari sumber halal, cara halal, namun penggunaannya melanggar aturan Allah, atau digunakan di jalan selain-Nya, maka keharaman jatuh atas penggunaan.

    Jika sumber halal, penggunaan halal, namun cara mendapatkannya tidak halal, maka haram jatuh atas cara mendapatkan harta tersebut. Begitu seterusnya.

    Demikianlah, kehati-hatian kita dalam mendapatkan harta atau makanan, diperlukan mutlak. Agar darah-daging kita terhindar dari barang haram. Kehalalan sumber, cara, dan penggunaan harus selalu dijaga, agar rezeki yang kita dapatkan mengandung berkah dan menyelamatkan kita dunia-akhirat.

    Semoga kita dijauhkan dari cara-cara licik, menipu, mencuri, atau cara tidak halal lainnya dalam mendapatkan uang, harta, atau rezeki. agar kita terhindari dari ngerinya dampak memperoleh dan menggunakan uang haram. Amin...! 

    Oknum kasir dan petugas SPBU yang melakukan penipuan; oknum polisi yang suka pungli dan "uang damai"; politisi dan pejabat yang doyan korupsi; begal dan penjahat lainnya yang suka mencuri dan merampok; semoga segera disadarkan dan tobat, sebelum kematian mengerikan dan adzab besar melanda. Amin....! Wallahu a’lam bish-shawabi.***

    Hukum Pamer Ibadah di Media Sosial

    Hukum Pamer Ibadah di Media Sosial
    Hukum Pamer Ibadah atau Menunjukkan Amal Kebaikan via Update Status Media Sosial (Facebook/Twitter)
     
    TANYA: Banyak orang memamerkan kegiatan ibadahnya di media sosial, terutama Facebook dan Twitter.

    Mereka menulis update status tentang amal kebaikan yang dilakukan, seperti shalat, mengaji, puasa, atau ibadah lainnya. Bagaimana hukumnya?

    JAWAB: Risalah Islam sudah membahas masalah pamer ibadah di media sosial ini di posting berjudul "Jangan Pamer Amal di Media Sosial".

    Memang ada fenomena memprihatinkan, yakni banyak umat Islam yang menulis update status berisi kegiatan ibadah atau amal kebaika, sehingga kesannya mereka pamer amal atau ingin mendapatkan pujian dan dibilang "hebat" oleh orang lain.

    Pamer ibadah atau memperlihatkan amal kebaikan di media sosial termasuk perbuatan riya' alias syirik kecil.

    Riya' adalah dengan sengaja memperlihatkan atau mempertunjukkan amal kebaikan atau ibadah agar amal tersebut dilihat orang dan mendapat simpati atau pujian orang lain.

    Dalam Islam, amal ibadah hanya untuk Allah SWT, tidak usah diperlihatkan kepada orang lain, apalagi di media sosial yang ruang lingkupnya sangat luas.


    Pahala kebaikan akan hilang jika dipamerkan (riya').

    Berikut ini dalil larangan pamer ibadah kepada orang lain, termasuk menuliskannya sebagai update status di media sosial.

    "Katakanlah wahai Muhammad sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah tuhan yang Maha Esa. Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan tuhannya maka hendaklah ia megerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya" (QS. Al-Kahfi:110).

    "Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik paling kecil. Maka beliau ditanya tentang itu. Beliau berkata: Riya" (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu Abid Dunya dan Baihaqi).

    "Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka bertanya: Apakah itu syirik yang paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab: Riya'! Allah berfirman pada hari kiamat, ketika memberikan pahala terhadap manusia sesuai perbuatan-perbuatannya: "Pergilah kamu sekalian kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amal kamu di dunia. Maka nantikanlah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu." (HR Ahmad).


    Pada hadits di atas, jelas sekali, jika kita pamer ibadah (amal kebaikan) di media sosial, maka di akhirat nanti kita akan diperintahkan Allah SWT untuk menemui fans, friends, atau follower yang memberi jempol, komentar, atau share. Karena kita beramal bukan karena Allah SWT semata, tapi disertai riya' alias syirik kecil. Na'udzubullah min dzalik. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

    Tidak Sah Shalat Cepat Tanpa Thuma'ninah

    Shalat Cepat Tanpa Thuma'ninah
    Sholat yang dilakukan dengan cepat tanpa thuma'ninah, maka akan sia-sia saja karena tidak memenuhi syarat sah shalat. Lakukan shalat dengan tenang dan khusyu'. Ingat! Shalat itu menghadap dan "dialog" dengan Allah SWT.
     
    DIBERITAKAN, ada sudara kita yang shalat tarawih 20 rakaat (ditambah witir 3 rakaat) hanya dalam waktu sekitar 10 menit! Videonya juga beredar yang menunjukkan betapa cepat-kilat shalat yang dilakukan.

    Apakah shalat mereka sah? Wallahu a'lam. Hanya Allah SWT yang Mahatahu. Namun, mari kita mengacu kepada salah satu Rukun Shalat, yakni Thuma'ninah (Ithmi'naan).

    Shalat yang dilakukan dengan cepat biasanya mengabaikan syarat sah shalat berupa Thuma'ninah ini. Jika syarat ini tidak terpenuhi, jelas shalatnya sia-sia saja alias tidak sah.

    Thuma'ninah dalam shalat adalah berdiam diri (tenang), seukuran waktu untuk membaca bacaan shalat yang wajib. 

    Seseorang tidak dikatakan thuma'ninah dalam shalat kecuali jika ia tenang dalam ruku' seukuran waktu untuk mengucapkan "سبحان ربِّي العظيم" satu kali (dengan bacaan normal, tidak cepat), dan dalam I'tidal (berdiri setelah ruku') seukuran waktu untuk mengucapkan "ربَّنا ولك الحمدُ" dan dalam sujud seukuran waktu untuk mengucapkan "سبحان رَبِّي الأعلى" , serta dalam duduk di antara dua sujud seukuran waktu untuk membaca "رَبِّ اغفِر لي" dan seterusnya.

    Menurut Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj: "Batasan thuma'ninah adalah tenang dan mapannya anggota-anggota badan yang digunakan untuk melakukan rukun tersebut."

    Dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits dari sahabat Abu Humaid as-Sa'idi r.a tentang sifat shalat Nabi Saw:

    ...فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
    "…Maka jika beliau mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga masing-masing ruas tulang belakang kembali ke tempatnya."
    Dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits dari Situ 'Aisyah r.a.:

    (فكان وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا)
    "…Maka, apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak sujud sebelum berdiri tegak lurus (I'tidal)."
    Thuma’ninah adalah melakukan setiap gerakan shalat secara sempurna, tenang dan diam beberapa saat sebelum melakukan gerakan shalat berikutnya. Shalat tidak boleh dikerjakan dengan cara "mengebut" bagai orang mau mengejar kereta dan asal cepat selesai saja.

    SUATU
    ketika ada seseorang yang masuk masjid kemudian shalat dua rakaat. Seusai shalat, orang ini menghampiri Nabi Saw yang saat itu berada di masjid. Ternyata Nabi Saw menyuruh orang ini untuk mengulangi shalatnya hingga tiga kali!

    Ternyata masalah utama yang menyebabkan shalatnya dinilai batal adalah kareka dia tidak thuma'ninah. Dia bergerak rukuk dan sujud terlalu cepat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan yang lainnya).

    Berikut ini nasihat dan petunjuk Rasulullah Saw tentang tata cara shalat:

    "Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka lakukanlah wudhu’ dengan sempurna, kemudian menghadaplah kiblat dan ucapkanlah takbir, kemudian bacalah surat (ayat) Al-Qur’an yang mudah bagimu (yaitu setelah membaca surat Al-Fatihah), kemudian lakukanlah ruku’ sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam ruku’, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri secara sempurna, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu dan duduklah (di antara dua sujud) sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk (((dalam riwayat lain: kemudian berdirilah engkau sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam berdiri))), dan lakukanlah hal itu dalam seluruh (raka’at) shalatmu!” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasai, dll).

    Demikian salah satu syarat sah shalat adalah thuma'ninah. Tidak bisa ditawar lagi. Jangan sampai, hanya mengejar jumlah rakaat, kita mengabaikan thuma'ninah.

    Jangan sampai, demi mengejar "kecepatan", kita mengabaikan syarat sah shalat. Jadi sia-sia saja 'kan shalatnya jika tidak thuma'ninah? Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam..com).*

    Sumber: Shahihain (Bukhari & Muslim), Pedoman Sholat, Alukah.net

    Jumat Mubarak: Ada Waktu Khusus Doa Dikabulkan

    jumat mubarak penuh berkah
    Kapan waktu khusus doa dikabulkan di Hari Jumat Penuh Berkah (Jumat Mubarak)?

    HARI Jumat adalah hari raya mingguan umat Islam. Dialah penghulu semua hari (sayyidul ayyam) yang penuh berkah (mubarak).

    Salah satu keberkahan hari Jumat adalah ada waktu khusus doa dikabulkan oleh Allah SWT.

    Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw menyebut hari Jum’at lalu bersabda:

    “Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu" (HR. Bukhari & Muslim).

    Baca Juga: Keutamaan Sedekah Hari Jumat

    Kapan tepatnya waktu mustajab doa di hari Jumat tersebut? 
    Setidaknya, Rasulullah menyebutkan dua waktu.
    • Pertama, dimulai dari duduknya imam/khotib sampai pelaksanaan shalat Jum’at. 
    • Kedua, dari terbit matahari hari Jumat hingga ba’da Ashar.

    Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari r.a., ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. berkata padanya:

    Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at? Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim).

    Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., Nabi Saw bersabda:

     “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut, melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘Ashar.(HR. Abu Dawud).  

     Semoga kita bisa mendapatkan waktu khusus dia dikabulkan di Jumat Mubarak. Amin...! Wallahu a’lam bish-shawabi (http://www.risalahislam.com).*

    Keutamaan & Berkah Sahur Puasa Ramadhan

    sahur puasa ramadhan
    Sempatkanlah Sahur, walau hanya seteguk air, karena dalam sahur ada berkah dan kebaikan.
     
    SAHUR adalah aktivitas makan-minum pada malam hari menjelang waktu Subuh (imsak/mulai puasa).

    Definisi atau arti kata sahur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "makan pada dini hari (disunahkan menjelang fajar sebelum subuh) bagi yang berpuasa Ramadhan".

    Hukum sahur sunah, tidak wajib, juga tidak termasuk rukun puasa.

    Rasulullah Saw menganjurkan umat Islam melaksanakan sahur dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Beliau menegaskan, sahur itu mengandung berkah.

    Dari Anas bin Malik, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

    Apa berkah sahur?

    Yang dimaksud dengan berkah (barokah) adalah “bertambah” dan “tumbuh”. Berkah sahur adalah bertambahnya energi atau kekuatan untuk berpuasa dan bertambahnya pahala puasa karena sahur merupakan sunah.

    "Mintalah pertolongan (tambahan kekuatan) dengan makan sahur untuk berpuasa pada siang hari. Dan (mintalah pertolongan) dengan menyedikitkan makan pada siang hari untuk bangun pada malam hari.” (HR Hakim).

    Rasulullah Saw juga menjelaskan, "Beda antara puasa kami (umat Islam) dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim dan Abu Daud).

    Makan sahur seorang Mukmin yang paling utama ialah buah kurma. Sabda Rasulullah Saw, "Sebaik-baik makan sahur seorang Mukmin ialah kurma". Secara umum, kurma bisa dimaknai sebagai makanan yang manis dan mengandung gizi.

    Bagi yang tidak memiliki makanan sahur, tetap dianjurkan untuk sahur minimal dengan minum air, meskipun hanya seteguk.

    Nabi Saw menjelaskan, "Makan sahur se­luruhnya berkah, janganlah kalian meninggalkannya, meskipun hanya minum seteguk air, karena Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur."

    Dalam hadits lain, Rasulullah Saw juga bersabda, "Siapa yang hendak berpuasa hendak- bersahur meskipun hanya sedikit."

    Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi SAW mengatakan, "Saya pergi menemui Nabi SAW sedang makan sahur, lalu Beliau SAW bersabda, "Ia (sahur) suatu keberkahan yang diberikan Allah ke­pada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan dia. Wallahu a’lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*

    Kunjungi juga: Risalah Ramadhan

    Malam Lailatul Qadar: Pengertian & Cara Mendapatkannya

    Pengertian & Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qodar - Tafsir Ibu Katsir Surat Al-Qadr.

    Lailatul Qadar adalah malam penuh kemuliaan dan keberkahan yang terjadi di 10 malam terakhir bulan Ramadhan.

    Pada malam qadar, para malaikat turun ke bumi guna mengurus berbagai urusan dengan membawa keberkahan dan rahmat dari Allah SWT.

    Cara menemkan atau mendapatkan malam qodar adalah menghidupkan 10 malam terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah, sebagaimana dianjurkan Rasulullah Saw, antara lain dengan I'tikaf atau berdiam di masjid untuk fokus beribadah.

    Kehadiran malam Lailatul Qodar secara jelas disebutkan salam Al-Quran Surat Al-Qadr.

    إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

    Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5).

    Pengertian Malam Qadar (Lailatul Qodr)

    Secara harfiyah, lailatul qodr artinya malam penetapan atau malam penentuan. Secara istilah, lailatul qodar adalah malam penuh keberkahan, kemuliaan, dan ampunan, serta malam seribu bulan.

    Dalam QS. Al-Qodr tersebut dijelaskan, Malam Qodar (Lailatul Qadar) adalah
    1. Malam diturunkannya Al-Quran sehingga malam ini bernilai historis dan penuh keberkahan dan kemuliaan.
    2. Malam yang lebih baik dari 1000 bulan (khairun min alfi syahrin), yaitu untuk amal ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih baik dari amalan selama seribu bulan.
    3. Malam diturunkannya malaikat dengan membawa keberkahan dan rahmat dari Allah SWT
    4. Malam penuh keselamatan atau kedamaian.

    Orang yang menghidupkan malam Lailatul Qodar dengan ibadah, maka akan diampuni dosa-dosanya, sebagaimana ditegaskan Rasulullah Saw:

    مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

    “Barangsiapa yang menghidupkan lailatul qadar dengan shalat malam atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Penjelasan Lailatul Qodar

    Penjelasan tentang malam qadar berikut ini disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir. Menurut Ibnu Katsir, Lailatul Qadar yaitu satu malam yang penuh berkah di bulan Ramadhan, sebagaimana difirmankan Allah dalam ayat lainnya: SyaHru ramadlaanal ladzii unzila fiiHil qur-aan --Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah: 185).

    Tentang diturunkannya Al-Quran, Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya mengatakan: “Allah menurunkan al-Qur’an itu sekaligus [30 juz], dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Kemudian diturunkan secara bertahap, sesuai dengan konteks realitasnya dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, kepada Rasulullah saw."

    Lailatul Qadr adalam malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Pahala atau nilai ibadah pada malam itu menyerupai ibadah selama seribu bulan.

    Ditegaskan di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

    “Barang siapa yang bangun untuk mendirikan shalat pada malam lailatul qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan akan pahala, maka akan diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya yang telah lalu.”
    Pada malam Lailatul Qodar, malaikat-malaikat dan malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengatur segala urusan, yakni banyak turunnya malaikat pada malam ini karena banyaknya berkah yang terdapat padanya.

    Para malaikat itu turun bersamaan dengan turunnya berkah, sebagaimana mereka senang untuk turun saat Al-Qur’an dibaca.

    Selain itu, para malaikat ini akan mengelilingi halaqah-halaqah dzikir [majelis ilmu] dan meletakkan sayap mereka bagi pencari ilmu dengan penuh kejujuran, sebagai bentuk penghormatan terhadapnya.

    Tentang pengertian ming kulli amrin (untuk mengatur segala urusan):
    • Mujahid mengatakan: “Malam kesejahteraan untuk mengatur semua urusan.” 
    • Sa’id bin Manshur berkata: “Isa bin Yunus memberitahu kami, al-A’masy memberitahu kami, dari Mujahid, mengenai firman-Nya: salaamun Hiya (“Malam itu penuh kesejahteraan”) dia mengatakan: ‘Ia aman, di mana waktu itu syaitan tidak dapat melakukan kejahatan atau melancarkan gangguan.’” 
    • Qatadah dan lain-lain mengatakan: “Pada waktu itu semua urusan diputuskan, berbagai ajal dan rezeki juga ditetapkan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: fiiHaa yufraqu kullu amrin hakiim --pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (QS. Ad-Dukhaan: 4.

    Kapan Terjadinya Lailatul Qodar?


    Malam Lailatul Qadar
    Masih menurut Tafsir Ibnu Katsir, Lailatul Qodar terjadi di 10 malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu di malam-malam ganjil --malam ke-21, 23, 25, 27, atau malam ke-29. Allah SWT dan Rasul-Nya tidak memberitahukan secara pasti agar umat Islam menghidupkan 10 malam terakhir bulan Ramadhan guna menemui Lailatul Qadar.

    Nabi Saw berdiri untuk menyampaikan khutbah pada pagi hari ke-20 bulan Ramadlan seraya berucap:

    ‘Barangsiapa yang beriktikaf bersamaku maka hendaklah dia pulang kembali, karena sesungguhnya aku telah melihat Lailatul Qadr. Dan sesungguhnya aku melupakannya, dan sesungguhnya ia ada pada sepuluh terakhir pada malam ganjil. Dan aku melihat seakan-akan aku bersujud di tanah dan air.’

    Dan pada waktu itu atap masjid masih berupa pelepah kurma dan kami tidak bisa melihat sesuatu di langit. Lalu Lailatul Qadr itu datang secara tiba-tiba sehingga hujan turun menyiram kami. Selanjutnya, Nabi saw. mengerjakan shalat bersama kami sehingga aku melihat bekas tanah dan air pada dahi Rasulullah saw. sebagai bentuk pembenaran mimpi beliau.

    Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

    “Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh terakhir di bulan Ramadlan, pada sembilan hari yang tersisa, pada tujuh hari yang tersisa dan pada lima hari yang tersisa.”

    Banyak orang yang menafsirkannya sebagai malam-malam ganjil. Dan yang ini lebih jelas dan lebih populer. Ulama lain membawanya kepada malam-malam genap, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id di dalam kitab shahihnya bahwa dia membawanya pada hal tersebut. wallaaHu a’lam.

    Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai Lailatul Qadr, lalu Rasulullah saw. bersabda:

    “Pada bulan Ramadlan, carilah ia [lailatul qadr] pada malam sepuluh terakhir, karena ia adalah malam ganjil; malam keduapuluh satu, atau keduapuluh tiga, atau keduapuluh lima, atau keduapuluh tujuh, atau keduapuluh sembilan, atau pada malam terakhir.”

    Cara Mendapatkan Lailatul Qodar


    Imam Syafi’i mengatakan: “Pernah terlontar jawaban dari Nabi saw. bagi seorang penanya ketika ditanya kepada beliau: ‘Apakah kami harus mencari malam qadr itu pada malam tertentu?’ beliau menjawab: ‘Benar.’ Sesungguhnya lailatul qadr itu merupakan malam tertentu yang tidak akan berpindah.’”

    Dinukil oleh at-Tirmidzi darinya sekaligus pengertiannya. Dan diriwayatkan dari Abu Qilabah bahwasannya dia pernah berkata: “Lailatul Qadr itu berpindah-pindah pada sepuluh malam terakhir.” Dan inilah yang diriwayatkan dari Abu Qilabah yang dinash-kan padanya oleh Malik, ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahwaih, Abu Tsaur, al-Muzani, Abu Bakar bin Khuzaimah, dan lain-lain. Dan juga diriwayatkan dari asy-Syafi’i yang dinukil oleh al-Qadhi. Dan inilah yang mirip. wallaaHu a’lam.

    Pendapat ini disandarkan pada hadits di dalam kitab ash-Shahihain dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasannya ada beberapa orang dari sahabat Nabi diperlihatkan Lailatul Qadr melalui mimpi pada malam keduapuluh tujuh dari bulan Ramadlan. Lalu Nabi saw. bersabda: “Aku melihat mimpi kalian itu telah terjadi pada malam tujuh terakhir. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin memperolehnya maka hendaklah dia mengejarnya pada tujuh malam terakhir.”

    Disunahkan untuk memperbanyak doa di sepanjang waktu dan di bulan Ramadlan, perbanyaklah pada sepuluh malam terakhir di bulan yang sama, kemudian pada malam-malam ganjil. 


    Yang disunahkan dalam doa ini adalah membaca doa berikut: allaaHumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwaa fa’fu ‘annii (“Ya Allah sesungguhnya Engkau Mahapemaaf yang menyukai maaf, karenanya berikanlah maaf kepdaku.”)

    Diriwayat pula oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah serta al-Hakim di dalam Mustadraknya, dan dia mengatakan: “Hadits ini shahih dengan syarat Syaikhani [al-Bukhari dan Muslim] dan juga diriwayatkan oleh an-Nasa-i.

    Kesimpulan
    Malam Qodar (Lailatul Qodar) adalah malam penuh kemuliaan, keberkahan, ampunan, dan malam ketika nilai ibadah lebih baik dari amalan seribu bulan. Waktunya adalah di 10 terakhir bulan Ramadhan.

    Semoga Allah SWT memberi kita kekutan dan rahmat sehingga bisa menjumpai Lailatul Qodar. Amin Ya Rabbal 'Alamin. (www.risalahislam.com.Sumber: Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Shahih Bukhari, Shahih Muslim).*

    Anak-Anak Muda di Sekitar Rasulullah Saw

    mujahid islam
    Sejumlah anak muda menjadi pembela dakwah dan perjuangan Rasulullah Saw dalam menegakkan Islam. Usia mereka belasan tahun hingga 20-an tahun.

    SETELAH kita menyimak kisah heroik-Islami dua  mujahid cilik dalam Perang Badar, Muadz bin Amr dan Muawwidz bin Afra’,  yang berhasil membunuh Abu Jahal, kali ini kita akan menyimak betapa banyak anak muda dalam perjalanan dakwah dan jihad Nabi Muhammad Saw.

    Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul tatkala berusia 40 tahun, usia matang yang bisa dikatakan tidak lagi muda. Namun, para pengikut generasi pertama beliau kebanyakan anak muda, usia belasan tahun, bahkan ada yang masih kecil.

    Usia para pemuda Islam yang dibina pertama kali oleh Rasulullah saw di Daarul Arqaam pada tahap pembinaan, adalah sebagai berikut:
    1. Yang paling muda yaitu Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Al-Awwam (8 tahun)
    2. Thalhah bin Ubaidillah (11 tahun)
    3. Al-Arqaam bin Abil Arqaam (12 tahun)
    4. Abdullah bin Mazh’un (17 tahun)
    5. Ja’far bin Abi Thalib (18 tahun)
    6. Qudaamah bin Abi Mazh’un (19 tahun)
    7. Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi (dibawah 20 tahun)
    8. 'Aamir bin Fahirah (23 tahun)
    9. Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad (24 tahun)
    10. Abdullah bin al Jahsy (25 tahun)
    11. Umar bin al Khathab (26 tahun)
    12. Abu Ubaidah Ibnuk Jarrah dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘ Usman bin Mazh’un, Abu Salamah, Abdurrahman bin Auf di mana kesemuanya (sekitar 30 tahun)
    13. Ammar bin Yasir (30-40 tahun)
    14. Abu Bakar Ash Shiddiq (37 tahun).
    15. Hamzah bin Abdul Muththalib (42 tahun)
    16. 'Ubaidah bin Al Harith (50 tahun), yang paling tua.
    Banyak pula sahabat Nabi Saw yang berusia muda menjadi pemimpin perang.

    Usamah bin Zaid diangkat oleh Nabi Saw sebagai komandan pasukan kaum Muslimin menyerbu wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Rom) dalam usia 18 tahun. Di antara prajurit terdapat orang yang lebih tua, seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan lain-lainnya.

    Sebelumnya, dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang bersama kawan-kawannya sesama "remaja ABG". Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah Saw supaya kelihatan lebih tinggi, agar diperkenankan turut berperang.

    Rasulullah Saw yang kasihan melihat Usamah yang bertekad kuat ingin berperang memenuhinya. Ketika itu Usamah baru berusia 15 tahun!

    Abdullah bin Umar saat berumur 13 tahun menyatakan ingin ikut Perang Badar. Ibnu Umar bersama al-Barra’ datang kepada Nabi Saw seraya meminta agar diterima sebagai prajurit. Saat itu Rasulullah Saw menolak kedua pemuda kecil itu.

    Tahun berikutnya, pada Perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima hanya Al-Barra’. Pada perang Al-Ahzab (Khandaq) barulah Nabi Saw menerima Ibnu Umar sebagai anggota pasukan kaum Muslimin (Shahih Bukhari).

    Di antara 10 sahabat Nabi Saw yang paling awal masuk Islam sekaligus dijamin masuk surga oleh Nabi Saw dalam satu hadits, mayoritas berusia muda saat pertama kali masuk Islam:
    1. Abu Bakar ash Shiddiq 37 tahun
    2. Umar bin Khattab 27 tahun
    3. Utsman bin Affan 34 tahun
    4. Ali bin Abi Thalib 10 tahun
    5. Thalhah bin Ubaidillah 14 tahun
    6. Zubair bin Awwam 16 tahun
    7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun
    8. Said bin zaid 15 tahun
    9. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun
    10. Abdurahman bin Auf 30 tahun.
    Demikianlah Anak-Anak Muda di Sekitar Rasulullah Saw yang menjadi mujahidin fillah, pejuang pembela agama Allah SWT.

    Semoga menjadi inspirasi bagi anak-anak muda zaman kini, juga inspirasi bagi generasi tua untuk lebih membina ghirah dan ruhul jihad kawula muda. Amin...! (http://www.risalahislam.com).*

    Kisah Dua Anak Muda Mujahid Perang Badar

    mujahid islam
    Dua anak muda usia belasan tahun, Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’, ikut dalam Perang Badar dan berhasil membunuh Abu Jahal.

    DALAM Perang Badar, perang pertama yang dialami Rasulullah Saw dan terjadi pada bulan Ramadhan, tersebutlah dua anak muda. Usianya belasan tahun.

    Pertama adalah Muadz bin Amr bin Jamuh. Usianya baru 14 tahun. Yang kedua adalah Muawwidz bin Afra’. Usianya baru 13 tahun.

    Kedua pemuda yang masih belia alias "remaja ABG" ini ikut bergabung bersama pasukan kaum Muslimin yang akan berangkat menuju lembah Badar.

    Kedua anak muda ini digambarkan oleh Abdurrahman bin Auf  sebagai pejuang pemberani. Abdurrahman bin Auf menuturkan :

    “Pada Perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.” (Shahih Al-Bukhari)

    Abdurrahman bin Auf sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar. Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia keduanya yang masih muda.

    Abdurrahman melanjutkan kisahnya:

    "Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh r.a. Ia berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang zhalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf r.a. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”

    Muadz bin Amr bin Jamuh berkata:

    “Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
    Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman bin Auf kagum.

    Rasa takjub Abdurrahman bin Auf r.a. belum berhenti. Muadz bin Amr bin Jamuh bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga bersaing dengannya dalam hal yang sama.

    Abdurrahman bin Auf menuturkan:

    "Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ r.a.) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa... Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”

    Dalam Riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, Muadz bin Amr bin Jamuh menggambarkan situasi saat itu:

    "Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” 

    Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.

    Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.

    Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”

    Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz untuk tetap mendekatinya.

    Muadz menuturkan: “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”

    “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”
    Muadz bin Amr bin Jamuh r.a. melanjutkan kisahnya:

    "Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”
    Anak muda lainnya, Muawwidz bin Afra’ r.a.., melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah. Ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.

    Muadz berkata tentang teman seperjuangan yang sama-sama belia ini:

    “Lalu Muawwidz bin Afra’ melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”
    Setelah Abu Jahal dibuat tidak berdaya oleh kedua anam muda itu, maka anggota pasukan "senior", Abdullah bin Mas’ud r.a., pun datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.

    Kedua anak muda itu lalu menjumpai Rasulullah Saw sambil berkata: “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”

    Maka Rasulullah Saw bertanya: “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang kalian?“ Mereka berdua menjawab: “Belum.”

    Maka beliau Saw melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.

    Demikian kisah heroik-Islami dua anak muda, dua mujahid cilik Perang Badar, Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’, yang tanpa takut berhasil menghabisi Abu Jahal. Di sisi lain, ini juga menunjukkan penghinaan kepada Abu Jahal yang meregang nyawa di tangan mujahid cilik Islam!

    Semoga kisah di atas menjadi motivasi dan inspirasi anak-anak muda Islam masa kini dalam berjuang membela Islam. Amin...! (www.risalahislam.com).*

    Sumber: Shahih Al-Bukhari dan Muslim & Risalatun ila Syababil Ummah Dr. Raghib As Sirjani

    Umar Mukhtar, Singa Padang Pasir dari Afrika

    Umar Mukhtar
    Pejuang Islam dari Afrika, Umar Mukhtar, dikenal dengan julukan "Singa Padang Pasir" (Lion of the Desert)

    SYAIKH Umar Mukhtar (Omar Mochtar) dikenal sebagai salah satu tokoh Gerakan Sanusiyah dan da'i yang sangat berpengaruh dalam menyebarkan Islam di kawasan Afrika pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

    Saat Umar Mukhtar dilahirkan tahun 1862 M di Distrik Bhutan (Libya) dari keluarga berkebangsaan Arab, Gerakan Sanusiyah yang didirikan pada 1843 M oleh Muhammad bin Ali as-Sanusiy al-Hasani al-Idrisi tengah gencar-gencarnya melakukan dakwah Islamiyah dan pembaharuan Islam.

    Umar Mukhtar mulai belajar di Zawiyah Janzuur, Dafnah, dekat Tobruk. Ia belajar membaca, menulis, menghafal al-Quran dan Hadits, serta pengetahuan agama lainnya.

    Ia juga sering berkunjung ke pusat Gerakan Sanusiyah di kota Jaghub Besar. Di "kota Kampus" yang sarat sarana pendidikan itu ia mendalami berbagai bidang ilmu seperti ilmu al-Quran dan hadits, bahasa, fiqh, logika, sastra, dan tarikh (sejarah). Ia juga mendalami ketrampilan olah kayu, besi, bangunan, dan sebagainya. Di sana pula ia mendaptkan latihan militer.

    Selama delapan tahun menimba ilmu di Jaghub, Umar Mukhtar mulai menampakkan jiwa kepemimpinannya. Demikian juga kecerdasan otak dan ketegasan bicaranya. Hal itu membuat kawan-kawannya terkesan.

    Tak heran jika kemudian pihak Gerakan Sanusiyah mulai memberikan perhatian penuh padanya. Dan pada tahun 1890 M Umar pun dipilih menjadi syeikh di Zawiyah al-Qushur untuk mengurus segala aktivitas Gerakan Sanusiyah.

    Umar berusaha keras adar wilayah yang dipimpinnya menjadi yang terbaik; aman dan tentram. Urusan administrasi beres, dan orang-orang pun menyukainya.

    Kepiawayannya dalam memimpin membuat Umar  Muckhtar dilirik oleh Khilafah Islam Bani Utsmaniyah. Umar dipercaya menarik pajak wajib di wilayah kekuasaannya.

    Umar Mukhtar menjalankan amanah tersebut dengan baik dan berhasil. Sebagai penghargaan, ia diangkat menjadi murid pimpinan Gerakan Sanusiyah waktu itu, Sayid al-Mahdi. Bahkan, al-Mahdi
    menganugerahi Umar dengan gelar "Sayid" --sebuah gelar keagamaan yang tidak diberikan pada siapa pun selain anggota keluarga as-Sanusiy (pendiri gerakan Sanusiyah). Dengan demikian, Umar telah menjadi salah seorang pemimpin tertinggi dalam gerakan.


    Dakwah di Sudan
    Pada 1894 Umar dipindahtugaskan dari Zawiyah al-Qushur ke Sudan. Pada saat yang sama, penjajah Prancis mulai mendekati bagian Barat dan Tengah negeri itu dan lembah Nil.

    Umar mengangkat seorang wakil Sayid al-Mahdi untuk memantau perkembangan tersebut. Bersama wakil itulah Umar menegakkan syi'ar Islam di Sudan.

    Penjajah Prancis juga mulai merambah Selatan Libya, yakni Waday (kerajaan Islam di Afrika Tengah). Pada saat bersamaan, Gerakan Sanusiyah pun berupaya melebarkan sayap dakwahnya di wilayah

    ini. Bentrokan pun tak terhindarkan dan pasukan Umar berhasil menghalau pasukan Prancis. Setelah itu, Umar kemudian bergabung dengan pasukan mujahidin Waday.

    Hingga tahun 1911 Prancis tidak bisa memasuki Waday karena mendapat perlawanan dari pasukan Islam. Dan pada tahun 1906 Umar Mukhtar kembali ke Zawiyah al-Qushur dan menjadi syeikh di sana.

    Pada awal abad 20, penjajah Italia mulai melakukan manuver-manuver untuk menguasai Libya melalui berbagai yayasan kebudayaan dan ekonomi.

     Umar dan para pemimpin Gerakan Sanusiyah bersiap siaga. Pengumpulan senjata dan pelatihan militer pun digelar untuk menghadapi kemungkinan perang dengan Italia. Ketika kemungkinan itu terjadi (Italia menyerang Libya pada 1911 M), Umar terjun ke medan jihad hingga wafatnya tahun 1931.

    Demikianlah sosok pejuang Islam (mujahid) yang dikenal dengan julukan Singa Padang Pasir (Lion of Desert) Umar Mukhtar. Semoga menjadi inspirasi bagi mujahidin masa kini dan mendatang. (http://www.risalahislam.com, berbagai sumber).*

    Hukuman bagi Muslim yang Keluar dari Islam (Murtad)

    Hukuman bagi Muslim yang Keluar dari Islam (Murtad)
    Murtad adalah orang Muslim yang keluar dari Islam dengan berpindah ke agama lain. Sanksinya: tobat atau hukuman mati.
     
    “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (QS Al-Baqarah: 217)


    “Tidak halal darah seorang Muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali dari tiga orang berikut ini; seseorang yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama’ah, orang yang telah menikah tapi berzina dan seseorang yang membunuh orang lain.” ( HR Muslim )

    DALAM
    risalah Islam, mereka yang mengganti keyakinan (akidah) atau agama dan keluar dari Islam (murtad), ada beberapa hukuman yang dikenakan kepadanya. Hukuman itu berawal dari:
    1. Diminta untuk tobat
    2. Hukuman takzir
    3. Penyitaan harta
    4. Kehilangan beberapa hak bertindak hukum
    5. Hukuman mati.
    Sesuai dengan prinsip Islam, orang yang murtad pertama kali harus diajak masuk Islam kembali melalui tobat. Akan tetapi, ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum mengajak orang murtad bertobat.

    Menurut jumhur ulama fikih, wajib hukumnya mengajak orang-orang murtad untuk masuk Islam kembali sebelum menghukum mati (membunuhnya).

    Ajakan ini, menurut mereka dilakukan sebanyak tiga kali. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari Mu‘az bin Jabal ketika ia diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Rasulullah SAW mengatakan kepadanya:

    ”Laki-laki mana saja yang murtad, maka ajaklah dia (kembali pada Islam), jika ia tidak mau kembali pada Islam maka bunuhlah ia. Perempuan mana saja yang murtad, serulah ia kembali pada Islam, jika mereka tidak mau kembali, maka bunuhlah mereka.” (HR. Tabrani).

    Dalam riwayat lain dikatakan:

    ”Bahwa seorang wanita bernama Ummu Marwan murtad, lalu persoalannya sampai kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW menyuruh para sahabat mengajaknya untuk tobat. Apabila ia tobat, maka biarkan, tetapi apabila ia tidak tobat, maka bunuh ia.” (HR. ad-Daruqutni dan Baihaki).

    Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa untuk mengajak orang murtad bertobat dan kembali masuk Islam hukumnya hanya dianjurkan saja (sunah), karena mereka telah mengetahui secara baik Islam tersebut. Apabila mereka tidak tobat, setelah diajak tobat selama tiga hari, maka mereka boleh dibunuh.

    Alasan yang mereka kemukakan adalah riwayat dari Umar bin Khattab ketika sekelompok tentara mendatanginya. Para tentara ini mengatakan kepada Umar bin Khattab bahwa ada salah seorang di antara mereka yang murtad, lalu mereka bunuh. Tetapi Umar ketika itu mengatakan:

    "Kenapa tidak kamu penjarakan dahulu dia selama tiga hari, kamu beri makan setiap hari dengan makanan yang enak-enak, mudah- mudahan dia bertobat.” Kemudian Umar berkata, ”Ya Allah saya tidak menghadiri eksekusi itu, saya tidak memerintahkannya, dan saya juga tidak rida dengan perlakuan tersebut.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Malik, asy-Syafi‘i, dan Baihaki).

    Cara bertobat tersebut, menurut para ahli fikih, harus dengan mengucapkan dua kalimat syahadat secara serius, serta menyatakan dirinya bebas dari segala bentuk yang membuatnya kafir. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa terlepas dari hukum wajib atau sunahnya mengajak orang murtad itu diajak kembali masuk Islam, maka ada tiga kelompok manusia yang tidak perlu ditunggu tobatnya, yaitu;

    (a) Penyihir. Orang yang melakukan suatu sihir yang menyebabkan ia kafir, menurutnya, tidak perlu diminta tobat, tetapi langsung dibunuh. Hukuman penyihir, menurut Imam Malik, sama dengan hukuman orang zindik.

    (b) Para zindik yang melakukan perbuatan mengkafirkan langsung dibunuh, sekalipun mereka menunjukkan tobat, karena sikap orang zindik itu di lua rnya Islam dan di batinnya kafir.

    (c) Orang yang mencaci Rasulullah SAW. Mereka tidak diajak lagi untuk tobat, tetapi langsung dibunuh. Menurut Imam Malik, orang murtad seperti itu dibunuh bukan karena kekafirannya, tetapi karena perbuatan itu adalah perbuatan pidana yang hukumannya adalah dibunuh. Akan tetapi ulama Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa zindik dan penyihir tetap diajak untuk tobat. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang mencaci Rasulullah SAW.

    Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali, orang-orang yang tidak diterima tobatnya adalah:
    (a) Orang zindik, karena Allah SWT berfirman, "Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran)...” (QS.2:160).

    Untuk orang zindik, menurut mereka, tidak bisa diterka tobat mereka, karena sikap mereka di luar memang mengaku Islam dan batinnya tetap kafir.

    (b) Orang yang berulangkali murtad. Menurut ulama Mazhab Hanbali, tidak diterima tobatnya, sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah an- Nisa ’ (4) ayat 137:

    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafiran-nya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”
    (c) Orang-orang yang mencaci Allah SWT dan Rasul-Nya juga tidak diterima tobatnya.

    (d) Penyihir, juga tidak diterima tobatnya, karena Rasulullah SAW berkata: ”Hukuman bagi penyihir adalah hukuman pancung dengan pedang (dibunuh)” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud dari Samrah bin Jundab).

    Ulama fikih mengatakan, apabila orang murtad bertobat secara sungguh-sungguh, maka hukuman bunuh gugur darinya, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan ad-Daruqutni dan Baihaki di atas.

    Hukuman Mati (Bunuh)


    Hukuman bagi orang murtad adalah dibunuh, apabila mereka tidak mau bertobat; termasuk orang- orang yang tidak diterima tobatnya yang dikemukakan ulama fikih di atas.

    Hukuman bunuh ini, menurut kesepakatan ahli fikih, dilakukan oleh pemerintah atau yang mewakilinya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:

    "Siapa saja yang menukar agamanya (dari Islam kepada kafir), maka kamu bunuhlah ia” (HR. Jamaah kecuali Muslim).

    Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:

    ”Tidak dihalalkan darah seorang muslim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: orang yang pemah kawin melakukan zina, orang yang membunuh orang lain, orang yang keluar dari agamanya dan keluar dari kelompoknya” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abduliah bin Mas‘ud).

    Timbul perbedaan pendapat tentang apakah hukuman murtad itu sama untuk laki-laki dan perempuan. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang murtad, baik laki-laki maupun perempuan, apabila tidak mau bertobat langsung dibunuh, sesuai dengan bunyi hadis-hadis di atas.

    Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi berpendapat perempuan tidak dibunuh, tetapi dipenjarakan dan dipaksa untuk bertobat sekalipun sampai ia wafat di penjara. Alasan mereka adalah adanya larangan Rasulullah SAW untuk membunuh wanita (HR. Abu Dawud dan Hakim).

    Hukuman pengganti bagi orang murtad yang telah tobat, menurut para ahli fikih, adalah merupakan hukuman takzir yang dikenakan hakim, sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki. Hukuman takzir yang dilaksanakan itu bisa berbentuk penahanan sementara, dera, denda, atau pencelaan dirinya.

    Ulama Mazhab Hanafi juga menambah hukuman tambahan lain bagi wanita yang tidak mau bertobat, yaitu memenjarakannya sampai mati, karena menurut mereka wanita tidak boleh dibunuh. Menurut ulama Mazhab Maliki, hukuman pengganti bagi anak kecil yang murtad adalah penjara seumur hidup, kecuali apabila mereka bertobat.

    Hukuman tambahan yang dikenakan kepada orang murtad, menurut ulama fikih ada dua bentuk, yaitu: menyita seluruh hartanya; dan hilangnya hak bertindak hukum.

    Terhadap penyitaan harta orang murtad, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Jumhur ulama fikih menyatakan bahwa seluruh harta orang murtad sejak ia menyatakan diri murtad dijadikan di bawah penguasaan hakim. Apabila ia bertobat, hartanya dikembalikan kepadanya, dan apabila ia tidak mau bertobat dari kekafirannya bahkan melarikan diri ke luar daerah Islam, maka seluruh hartanya yang ia peroleh sebelum murtad, menurut Imam Abu Hanifah, menjadi hak ahli warisnya dan dibagi sesuai dengan pembagian warisan masing-masing.

    Sedangkan harta yang diperoleh orang murtad itu selama ia murtad diserahkan ke perbendaharaan negara. Ulama Mazhab Syafi‘i dan Maliki sependapat dengan Imam Abu Hanifah. Namun menurut mereka, harta itu tidak dibagi kepada ahli waris, tetapi menjadi milik bersama umat Islam, sama dengan harta rampasan perang dan diserahkan ke perbendaharaan negara, baik harta itu diperolehnya sebelum maupun dalam keadaan ia murtad.

    Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, dan ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa harta orang murtad hanya berpindah tangan apabila orang murtad itu wafat. Apabila ia lari ke negeri non-Islam, menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, hartanya juga berpindah tangan kepada ahli warisnya.

    Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanbali, hal tersebut tidak membuat ia kehilangan hartanya. Apabila orang itu wafat, menurut ulama Mazhab Hanbali hartanya sama statusnya dengan harta orang kafir, boleh diambil siapa saja yang mampu.

    Hukuman tambahan lainnya bagi orang murtad adalah hilangnya beberapa hak bertindak hukum yang berkaitan dengan harta, yaitu ia tidak berhak mewarisi harta ahli warisnya yang wafat, seluruh tindakan hukumnya yang bersifat perdata dianggap tidak berlaku, sampai statusnya jelas.

    Apabila ia tetap murtad, maka seluruh tindakan hukumnya dianggap batal. Akan tetapi, jika ia kembali masuk Islam, maka seluruh transaksi yang telah ia buat dianggap sah.

    Demikian Hukum Murtad (Keluar dari Agama Islam) dalam Risalah Islam. Semoga Allah SWT memberi hidayah kepada orang murtad untuk kembali ke Islam dan tidak pernah murtad lagi. Semoga kiat sebagai Muslim diberi kekuatan iman dan tidak mati kecuali dalam keadaan beriman Islam. Amin...! (www.risalahislam.com).*

    Sumber: Republika, Shahihain, Kuliah Al-Islam & Dien Al-Islam

    Menelan Ludah, Membatalkan Puasa?

    puasa ramadhan
    Hukum Menelan Air Liur (Ludah) Saat Puasa Ramadhan. Apakah Membatalkan Puasa?
     
    TANYA: Apakah Menelan Ludah Membatalkan Puasa?

    JAWAB: Kalau yang dimaksud menelan ludah (air liur) sendiri, maka tidak membatalkan puasa. Kalau menelan ludah orang lain, jelas membatalkan puasa.

    Menurut Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/122), menelan ludah termasuk hal yang tidak bisa dihindari sehingga tidak membatalkan puasa.

    "Sesuatu yang tidak mungkin dihindari ketika puasa, seperti menelan ludah, tidak membatalkan puasa. Karena menghindari semacam ini sangat memberatkan. Kasusnya sebagaimana debu jalanan atau tebaran tepung."

    "Jika ludah itu telah keluar ke bajunya atau diletakkan diantara jarinya atau berada di antara bibirnya, kemudian kembali dia telan, atau dia menelan ludah orang lain, maka puasanya batal. Karena berarti dia menelan ludah selain dari mulutnya. Sehingga sama dengan ketika dia menelan benda lainnya".

    Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1/462), juga mengatakan demikian: “Demikian pula, dibolehkan untuk menelan benda-benda yang tidak mungkin bisa dihindari. Seperti menelan ludah, debu-debu jalanan, taburan tepung, atau dedak…”.

    Selain menelan ludah, hal-hal lain yang tidak membatalkan puasa a.l.
    1. obat tetes mata atau hidung atau telinga, 
    2. parfum dan wangi-wangian, 
    3. suntikan pengobatan, 
    4. keluar madzi, 
    5. debu atau lalat terbang yang masuk ke tenggorokan dan tertelan, 
    6. obat hirup, 
    7. obat kumur, 
    8. obat pada luka, 
    9. keluar sedikit darah, seperti luka atau pemeriksaan golongan darah, serta 
    10. pembatal-pembatal puasa yang dilakukan tanpa sengaja. 
    Demikian status hukum menelan ludah (air liur) dalam kaitannya dengan status puasa Ramadhan.  Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*

    Baca: Panduan Ramadhan

    Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid & Mushola

    Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid. Kementerian Agama Sudah Mengaturnya Sejak 1978 dan tidak ada masalah selama aturan ini ditaati.

    Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid

    WAPRES
    Jusuf Kalla mengeluhkan suara mengaji (bacaan Al-Quran) yang diperdengarkan melalui pengeras suara (speaker) di masjid-masjid. Seperti dibeirtakan, JK menyebutnya sebagai "polusi suara".

    Wapres sebelumnya, Boediono, juga pernah meminta agar Dewan Masjid melakukan pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Wapres menilai, suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras.

    Penyataan tersebut mencerminkan Kedua Wapres itu "belum membaca" aturan resmi pengeras suara (speaker) di masjid-masjid yang sudah dikeluarkan pemerintah sejak lama sekali, yaitu tahun 1978.

    Aturan Kementerian Agama (Kemenag) tersebut bisa disimak di situs bimasislam.kemenag.go.id, yaitu berupa Instruksi Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam dalam Keputusan Nomor: Kep\/D\/101\/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.

    Syarat Penggunaan Pengeras Suara Masjid

    Berikut ini Aturan Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:
    1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar.

    Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

    2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil.

    Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

    3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat.

    Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya

    4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara.

    Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

    5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

    Aturan Pengeras Suara Kedalam dan Keluar

    Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat.

    Secara terperinci penggunaan pengeras suara di masjid sebagai berikut:

    1. Waktu Subuh
    Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain.

    Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid.

    Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar. Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.

    2. Waktu Dzuhur dan Jum’at
    Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum’at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar.

    Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya.
    Bacaan shalat, do’a, pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.

    3. Ashar, Maghrib, dan Isya’
    Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur’an.

    Pada waktu datang waktu shalat dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
    Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.

    4. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
    Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Pada Idul Fitri dilakukan malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah.

    Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara.

    Demikian Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid. Semoga para pengurus masjid (DKM) dan masyarakat Indonesia pada umumnya mengetahui dan mahami aturan ini. Wasalam. (www.risalahislam.com).*

    Link Download
    Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala 


    Jangan Mencela Makanan, Jika Tak Suka, Tinggalkan!

    makanan
    Rasulullah Saw melarang kita menjelek-jelekkan makanan. Jika tidak suka, tinggalkan, jangan "mengumpat".

    NGGAK ENAK!
    Kata-kata sepele, namun itu mengandung "hinaan kepada makanan". Muslim yang baik tidak akan mengatakan demikian. Sebab, menghina atau menjelek-jelekkan makanan, dilarang dalam Islam.


    Lagi pula, bisa jadi makanan yang tidak enak bagi kita itu, justru sangat lezat di lidah orang lain.

    Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin mengemukakan hadits yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mencela makanan.

    Dari Abu Hurairah r.a. :

    مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

    “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sedikit pun. Seandainya beliau menyukainya, beliau menyantapnya. Jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Ibnu Baththol mengatakan, “Inilah adab yang baik kepada Allah Ta’ala. Karena jika seseorang menjelek-jelekkan makanan yang tidak disukai, maka seolah-olah dengan ucapan jeleknya itu, ia telah menolak rizki Allah.” (Syarh Al Bukhari)

    Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menjelaskan:

    “Makanan dan minuman yang dinikmati ketika disodori pada kita, hendaklah kita tahu bahwa itu adalah nikmat yang Allah beri. Nikmat tersebut bisa datang karena kemudahan dari Allah. Kita mesti mensyukurinya dan tidak boleh menjelek-jelekkannya. Jika memang kita suka, makanlah. Jika tidak, maka tidak perlu makan dan jangan berkata yang bernada menjelek-jelekkan makanan tersebut.” (Syarh Riyadhus Sholihin).

    Saat berbuka puasa, atau sahur, kita biasanya memilih makanan. Jika ada makanan yang tidak enak, atau tidak disukai, cukup tinggalkan saja, jangan sampai kita mencelanya. Wasalam. (www.risalahislam.com).*

    Pengertian & Keterkaitan Iman, Hijrah, dan Jihad

    Pengertian & Keterkaitan Iman, Hijrah, dan Jihad
    IMAN tidak bisa dilepaskan dari Hijrah dan Jihad. Demikian tersurat dalam Al-Quran.

    Iman saja tidak cukup untuk mencapai kemenangan dan keridhaan Allah SWT, tapi juga diikuti dengan amal soleh, termasuk hijrah dan jihad.


    Dua ayat berikut ini secara jelas menunjukkan keterkaitan antara iman, hijrah, dan jihad sebagai tiga hal yang tidak terpisahkan.

    إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah:218).

    الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ


    “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS.  At-Taubah: 20).

    Dua ayat di atas dengan jelas menyebutkan secara beruntun tiga kata tersebut --iman, hijrah, dan jihad.

    Pengertian Iman

    Iman menurut bahasa adalah membenarkan, yakni membenarkan dalam hati Ikrar dengan lisan amal dengan angota badan.

    Secara istilah, iman adalah membenarkan atau meyakini hal-hal yang tercantum dalam Rukun Iman:

    الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْقَدَرِ كُلِّهِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

    "Iman adalah engkau percaya spenuhnya kepada Allâh, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasûl-Nya, hari akhir, dan segala taqdir yang baik maupun yang buruk" (HR. Ahmad)


    Pengertian Hijrah

    Hijrah menurut bahasa berarti pindah dari satu tempat ke tempat, sebagaimana Nabi Saw dan para sahabat pindah dari Makkah ke Madinah, demi keselamatan diri, keluarga, dan agama (Islam).

    Namun, setelah Makkah ditaklukkan, tidak ada lagi hijrah.

    لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ
     

    "Tidak ada hijrah setelah Penaklukan Makkah" (HR al-Bukhari dari Mujalid bin Mas’ud).

    Hijrah dalam arti luas tersirat dalam sabda Rasûl SAW sebagai berikut:

    الُمهَاجِرُمَنْ هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُ

    "Orang hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allâh SWT" (HR. Ahmad & Ibn Hibban).

    Pengertian Jihad

    Jihad secara bahasa artinya sungguhp-sungguh mengerahkan segala kemampuan untuk meraih sesuatu.

    Secara istilah, jihad berarti mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan untuk membela Agama Allâh SWT  dari serangan kaum Musyrikin anti-Islam.

    جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

    "Jihadlah kalian untuk mengalahkan musyrikin dengan harta, tangan, dan lisan kalian" (HR. Al-Nasa`i, Ibn Hibban, Abu Ya’la).

    جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

    "Jihadlah untuk mengalahkan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lisanmu" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Darimi).

    Jihad membela Islam dan kaum Muslim dapat dilakukan dengan
    • Harta --zakat, infak, sedekah, wakaf
    • Jiwa --fisik, tenaga
    • Lisan --pemikiran, tulisan, ucapan.

    Demikian sekilas Pengertian & Keterkaitan Iman, Hijrah, dan Jihad. (www.risalahislam.com).*

    Kaum Muslim Terbagi Tiga Golongan: Sabiqun, Muqtashid, Zhalim

    Kaum Muslim Terbagi Tiga Golongan
    Kaum Muslim Terbagi Tiga Golongan: Sabiqun bil Khairat, Muqtashid, Zhalimu Linafsih.

    ALLAH SWT menyebutkan, umat Islam terbagi kedalam tiga golongan atau kelompok, berdasarkan ketaatannya kepada syariat Islam yang bersumberkan Al-Quran.

    Hanya ketiga kelompok Muslim ini pula yang ada dalam Islam, bukan sebutan-sebutan kelompok umat Islam yang sering dipropagandakan media-media anti-Islam.

    Ketiga golongan kaum Muslim menurut Al-Quran itu adalah
    1. Zhalimu Linafsih
    2. Muqtashid
    3. Sabiqun bil Khairat
    Dalam QS. Al-Fathir disebukan:


    ُثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

    “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fathir: 32).

    Pengertian Sabiqun bil Khairat, Muqtashid, Zhalimu Linafsih.


    Apa pengertian dan kriteria golongan Sabiqun bil Khairat, Muqtashid, Zhalimu Linafsih? Dalam Tafsir Al-Quran Departemen Agama RI disebutkan:
    1. Zhalimu Linafsih adalah orang yang menganiaya dirinya sendiri, yaitu orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya. 
    2. Muqtashid adalah pertengahan, yaitu orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya.
    3. Sabiqun bil khairat adalah golongan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan, yaitu orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan
    1. Dzalimun linafsihi atau orang-orang yang menganiaya diri sendiri adalah orang-orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan banyak maksiat.
    2. Muqtashid atau pertengahan adalah orang-orang yang hanya melakukan perbuatan wajib dan menghindarkan diri dai perbuatan maksiat, meninggalkan perbuatan-perbuatan baik, namum suka melakukan perbuatan-perbuatan makruh (tercela).
    3. Sabiqun bilkhairat atau orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah orang-orang yang melaksanakan kewajiban dan kebaikan-kebaikan lainnya, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram dan makruh, bahkan juga meninggalkan perbuatan yang mubah.”
    Dalam Tafsir Al-Baghawi disebutkan, Mujahid, Al-Hasan, dan Qatadah menjelaskan:
    1. Zhalimun linafsihi (orang yang mendzalimi diri sendiri) adalah ash-habul masy’amah (golongan kiri).
    2. Muqtashid (pertengahan) adalah ash-habul maimanah (golongan kanan). 
    3. Sabiqun bilkhairat (lebih dahulu berbuat kebaikan) adalah al-muqarrabun
    Pendapat dalam Tafsir Al-Baghawi itu berdasarkan QS Al-Waqi'ah:7-2 

    وَكُنتُمْ أَزْوَاجاً ثَلَاثَةً ◌ فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ ◌ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ ◌ وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ ◌ وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ◌ أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ ◌ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ

    “Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka Itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan.” (QS Al-Waqi’ah: 7-12)

    Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Darda, Rasulullah saw. bersabda:
    1. Kelompok Saabiqun adalah mereka yang akan masuk janah (surga) dengan tanpa hisab. 
    2. Kelompok muqtashid adalah mereka yang akan dihisab dengan hisab yang ringan (hisaban yasiira). 
    3. Kelompok dhalimun adalah mereka yang mendapat rintangan sepanjang mahsyar, kemudian Allah menghapus kesalahannya karena rahmat-Nya.
    Setelah diampuni Allah, kelompok zhalimun ini  berkata, "Dan mereka Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Rab kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (jannah) dari karunia-Nya; didalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu." (QS Fathir: 34--35). (HR Imam Ahmad).

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, suatu ketika  Aisyah r.a. ditanya oleh Uqbah bin Shuhban al-Hinai tentang ayat di atas. Beliau menjawab, "Wahai anakku, mereka berada di janah. Adapun sabiq bil khairat adalah mereka yang telah berlalu pada masa Rasulullah saw., Rasulullah menjanjikan untuk mereka janah. Adapun muqtashid adalah mereka yang mengikuti jejaknya dari kalangan sahabatnya, sehingga bertemu dengan mereka. Adapun dhalim linafsih adalah seperti aku dan kalian?."

    Komentar ibunda Aisyah r.a. yang mengelompokkan dirinya ke dalam dhalim linafsih, tentu sebuah ketawadhu'an, sebagaimana dinyatakan oleh Uqbah bin Shuhban. Menurutnya, Aisyah justru termasuk pemuka sabiq bil khairat. Namun, bagi kita tidak ada alasan untuk tidak menyatakan diri kita sebagai muqtashid apalagi sabiq bil khairat.

    Tiga kelompok di atas memang akhirnya dinyatakan akan masuk janah, karena mereka adalah umat Muhammad Saw yang bertauhid. Namun, kelompok zhalim linafsih berada pada posisi terancam karena akan melewati proses hisab yang berat dan belum tentu mendapat ampunan dan rahmat Allah SWT.

    Semoga kita termasuk kelompok Sabiqun bil Khairat, yaitu golongan kaum Muslim yang bersegera dalam kebaikan, melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, juga menjalankan amalan-amalan sunah, dan menjauhi perbuatan makruh apalagi haram. Amin...! Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*