Pengertian Kebaikan dalam Islam

kebaikan goodness
http://goodology.com
KITA sering mendengar kata "baik", "orang baik", "berbuat baik", atau "kebaikan". Apa makna, arti, definisi, maksud, atau pengertian kebaikan yang sebenarnya dalam Islam?

Secara bahasa (Indonesia), menurut KBBI, baik artinya elok; patut; teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dsb): mujur; beruntung; berguna; manjur; sembuh; pulih; selamat (tidak kurang suatu apa).

Kebaikan --atau goodness dalam bahasa Inggris-- artinya sifat baik; perbuatan baik, kegunaan; dan sifat manusia yang dianggap baik menurut sistem norma dan pandangan umum yang berlaku.

Makna kebaikan mungkin berbeda bagi setiap orang. Baik menurut kita, belum tentu baik menurut mereka. Maka, dalam pandangan manusia, kebaikan itu relatif dan bahkan situasional-kondisional.

Sebagai Muslim, kita memiliki panduan lengkap dalam memahami dan menyikapi segala hal, termasuk dalam memaknai kebaikan ini.

Pengertian Kebaikan menurut Islam
Rasulullah Saw sebuah haditnya menegaskan: “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim).

“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Al Baihaqi).

Dalam salah satu ayat Al-Quran, kebaikan disebut "Al-Biru". Ulama mengartikan al-birru sebagai "kebaikan yang banyak".

Dalam ayat berikut ini Allah SWT merinci apa saja yang disebut kebaikan

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ


"Kebaikan itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]:177).

Dari ayat di atas, yang dimaksud perbuatan baik atau kebaikan dalam Islam antara lain:
  • Beriman. Beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.
  • Suka Infak, Sedekah, Dermawan. Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya.
  • Taat Ibadah, termasuk mendirikan shalat sebagai kewajiban utama kaum Muslim dan menunaikan zakat.
  • Menepati Janji. Menepati janjinya apabila ia berjanji
  • Sabar. Orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.

Menurut hadits riwayat Ar-Rabi' dan Qatadah, sebab turun (asbabun nuzul) ayat QS 2:177 tersebut yaitu ketika umat Yahudi sembahyang menghadap ke arah Barat, sedangkan umat Nasrani menghadap ke arah Timur.

Masing-masing pemeluk agama mengklaim bahwa hanya agama yang dianutnya paling benar dalam berbakti dan berbuat kebajikan. Di luar agamanya dianggap salah dalam berbakti dan berbuat kebajikan, sehingga turunlah ayat di atas untuk membantah pendapat dan persangkaan mereka.

Dalam Al-Quran dan Tafsirnya dari Universitas Islam Indonesia (1991) dijelaskan, ayat tentang kebaikan di atas bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup semua umat yang menganut agama samawi (agama yang turun dari langit) termasuk umat Islam.

Allah SWT menjelaskan kepada semua umat manusia, bahwa kebaktian bukanlah sekedar menghadapkan muka kepada suatu arah tertentu (baik arah ke Timur atau ke Barat).

Tetapi hakikat kebaktian adalah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk hati yang dapat menentramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan.

Beriman pada hari akhirat sebagai tujuan terakhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan fana ini. Beriman kepada malaikat yang di antara tugasnya menjadi perantara dan pembaca wahyu dari Allah kepada para Nabi dan Rasul. Beriman kepada semua kitab-kitab (Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran) yang diturunkan Allah. Beriman kepada semua nabi tanpa membedakan antara seorang nabi dengan nabi yang lain.

Implementasi kebaikan dalam konteks ayat di atas antara lain:
  • Memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat yang membutuhkannya (infak, sedekah).
  • Mendirikan salat, artinya melaksanakan pada waktunya dengan khusyu' sesuai rukun-rukun salat dan syarat-syarat salat.
  • Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya berdasarkan QS. 9: 60. Dalam Al-Quran, antara salat dan zakat terjalin hubungan sangat erat dalam melaksanakan kebaktian dan kebajikan. Apabila disebutkan perintah "mendirikan salat", maka selalu diiringi dengan perintah "menunaikan zakat". Sebab salat yang didahului dengan bersuci merupakan pembersih jasmani dan rohani, sedang zakat pembersih harta yang kita peroleh. Dengan demikian, kebaktian dan kebajikan itu tidak cukup dengan jasmani dan rohani saja, tetapi harus disertai dengan harta yang kita cintai.
  • Menepati janji bagi mereka yang telah mengadakan perjanjian, baik janji kepada Allah SWT (seperti sumpah dan nazar) maupun janji kepada manusia.

Dengan demikian makna, arti, definisi, maksud, dan pengertian kebaikan dalam Islam mencakup dimensi ibadah dan kepedulian sosial atau hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minan naas (hubungan dengan sesama manusia).

Setiap Muslim harus memiliki hubungan harmonis dengan Allah SWT, yakni dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, juga wajib memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia, yakni dengan budi pekerti atau akhlak yang baik.

عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ  [رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]

"Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, dan Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR Turmuzi dalam Arba'in Nawawiyah)." 
Semoga kita senantiasa diberi hidayah dan kekuatan untuk memahami kebaikan dan mengamalkannya. Amin...! Wallahu a'lam bish-showabi. (www.risalahislam.com).*

Sumber:
1. Al-Quran dan Terjemahannya
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Shahihain (Bukhari dan Muslim)
4. Arba'in Nawawiyah

Pengertian Sunah Rasul

Pengertian Sunah Rasul
Pengertian Sunah, Sunnah, atau As-Sunnah Rasul yang Sebenarnya dalam Islam, termasuk "Sunah Malam Jumat".

SUNAH adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Muhammad Saw.

Dalam konteks fiqih, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan. Sunah dalam fiqih juga dipahami sebagai segala perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa (karena tidak wajib).


Secara bahasa, Sunah artinya jalan, kebiasaan, dan contoh terdahulu, sebagaimana dalam hadits shahih berikut ini:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barangsiapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)
 
Sunah sering pula diidentikkan dengan hadits, yaitu sabda atau perkataan Nabi Muhammad Saw.

Dalam Islam, sunah terbagi ke dalam empat pengertian:

  1. Sunah adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah Saw.
  2. Sunnah yang bermakna “Al-Hadits”, yaitu ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhamad Saw.
  3. Sunnah sebagai lawan dari Bid’ah (perkara yang dibuat-buat/diada-adakan dalam Islam).
  4. Sunnah bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala sesuatu yang diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk pewajiban (biasa disebut juga ”sunat” alias tidak wajib).
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah kematianku), niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang memperoleh petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah terhadap perkara-perkara baru yang dibuat-buat. Sungguh, setiap perkara baru yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat!” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Mengikuti atau melaksakan Sunah Rosul termasuk tanda keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
 
Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran: 31).

Budaya adalah adat, tradisi, atau kebiasaan. Budaya Arab ada sebelum Islam hadir. Jahiliyah termasuk budaya Arab. Maka, budaya Arab tidak sama dengan Sunah. Buaya Arab tidak termasuk Sunah  Rasul.

Ada juga ungkapan Sunah Rosul untuk aktivitas suami-istri di malam Jumat. Pemahaman ini keliru sebagaimana sudah dibahas di posting Amalan Sunah Malam Jumat yang sebenarnya. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Islam Tidak Mengenal Hari Valentine - Kaum Muslim Takkan Merayakannya

Valentine’s Day (Hari Valentin) 14 Februari adalah perayaan umat non-Muslim, yakni peringatan kematian Pendeta St. Valentine. Muslim yang baik tidak akan ikut merayakannya.
Say No to Valentine's Day!


Say No to Valentine's Day
SEORANG Muslim tidak akan merayakan Hari Valentine (Valentine's Day). Pasalnya, Valentine tidak dikenal dalam Islam dan bukan bagian dari budaya umat Islam.

Menurut Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, Islam tidak mengenal istilah perayaan hari kasih sayang (Valentine).

Terdapat kekeliruan cara pandang pada perayaan Valentine oleh segelintir orang, terutama kalangan pemuda dan pemudi. Karena mereka, lanjut Yunahar, terkadang menginterpretasikan perayaan tersebut sebagai momentum untuk menunjukkan kasih sayang melalui hubungan fisik.

"Ada banyak yang mensurvei setelah perayaan valentine itu pasti ditemukan kondom berserakan, banyak perempuan hamil tanpa kawin. Karena mereka salah menangkap makna kasih sayang itu," ujarnya kepada Republika Senin (8/2).

Karena itu, ia menyarankan agar para anak-anak muda Muslim agar tidak turut serta dan larut dalam perayaan Valentine. Sebab, istilah valentine atau perayaan hari kasih sayang memang tidak ada dalam ajaran Islam.

Seperti diulas dalam posting sebelumnya, Hukum Merayakan Valentine, Valentine’s Day (Hari Valentin) 14 Februari adalah perayaan umat non-Muslim, yakni peringatan kematian Pendeta St. Valentine.

Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), istilah Valentine yang disadur dari nama “Valentinus”,  merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci dalam Katolik) yang berbeda: seorang pastur di Roma, uskup Interamna, dan seorang martir di Provinsi Romawi Africa (Wikipedia).

Hubungan antara tiga santo tersebut terhadap perayaan V alentine atau “hari kasih sayang” tidak memiliki catatan sejarah yang jelas. Bahkan, Paus Gelasius II tahun 496 M menyatakan, sebenarnya tidak ada hal yang diketahui dari ketiga santo itu.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998).

Tanggal 14 Februari dirayakan sebagai peringatan santa Valentinus sebagai upaya mengungguli hari raya Lupercalica (Dewa Kesuburan) yang dirayakan tanggal 15 Februari. 

Beberapa sumber menyebutkan, jenazah santo Hyppolytus yang diidentifikasi sebagai jenazah santo Valentinus diletakkan dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whiterfiar Street Carmelite Church di Dublin Irlandia oleh Paus Gregorius XVI tahun 1836.

Sejak itu, banyak wisatawan yang adalah nama seorang paderi, Pedro St. Valentino.
Literatur lain menyebutkan, tanggal 14 Februari 270 M, St. V alentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi, Raja Claudius II (268 – 270 M). 

Untuk mengagungkan St. Valentine yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai “upacara keagamaan”.

Tetapi sejak abad 16 M, ‘upacara keagamaan’tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi ‘perayaan bukan keagamaan’. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.

Jelas,  Islam Tidak Mengenal Hari Valentine - Kaum Muslim Takkan Merayakannya. Say No to Valentine's Day! (www.warnaislam.com).*

Tiga Amal yang Bisa Mengubah Takdir

Tiga Amal yang Bisa Mengubah Takdir
TAKDIR atau ketentuan Allah SWT bagi diri kita bisa berubah dengan sejumlah amal kebaikan.

Jika kita melakukan amal kebaikan, maka takdir buruk yang sedianya menimpa kita, akan dihapus oleh Allah SWT.

Dalam hadits shahih disebutkan, kehidupan kita sudah ditentukan sedemikian rupa oleh Allah SWT di dunia ini, meliputi rezeki, ajal, amal, dan kondisi kehidupan.

“Sesungguhnya seorang  manusia itu di ciptakan dalam perut Ibunya selama 40 hari dalam bentuk nutfah (mani), 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menajadi segumpal daging. Kamudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kedalamnya. Dan menuliskan empat ketantuan, yaitu rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.“ (H.R. Bukhari-Muslim).

Allah SWT memang Maha Pengasih dan Penyayang, juga Maha Kuasa atas segala sesuatu. Meski sudah menentukan nasib kita di dunia, Dia dengan kemurahan-Nya dapat dan Mahakuasa mengubah ketentuan-Nya.


Tiga Amal yang Bisa Mengubah Takdir

Berikut ini empat amal yang bisa mengubah takdir buruk menjadi takdir baik, berdasarkan hadits-hadits shahih.

1. Amal Kebaikan.

"Beramallah kamu sekalian, karena beramal (berbuat kebaikan/ibadah) akan mengubah sesuatu yang buruk yang telah ditentukan-Nya padamu" (HR. Bukhori dan Muslim).

“Tiada yang dapat menambah umur seseorang, selain (amal) kebaikan.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

2. Sedekah

"Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan kemarahan Allah dan menolak ketentuan yang buruk.” (HR. Tirmidzi).

“Bersegeralah bersedekah, karena bala tidak pernah mendahului sedekah.” (HR. Thabrani).

“Sesungguhnya sedekah dan silaturahim itu dapat menambah umur dan menolak ketentuan buruk yang tidak disukai dan ingin dijauhi.” (HR. Abu Ya’la Alhambali).

3. Doa
“Tiada yang bisa menolak takdir Allah, kecuali doa.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Ahmad, dan Ibnu Majah).

Semoga kita diberi hidayah dan kekuatan untuk melaksanakan tiga amal yang bisa mengubah takdir tersebut sehingga kehidupan kita lebih baik. Amin! Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*
 

Ciri-Ciri Aliran Sesat - Menyimpang dari Ajaran Islam

aliran sesat
10 Kategori Sebuah Paham atau Aliran Dinyatakan Sesat - Menyimpang dari Ajaran Islam.

SETIDAKNYA ada 10 kategori atau ciri-ciri yang membuat sebuah paham, aliran, atau kelompok dinyatakan sebagai aliran sesat. Kriteria ini dikemukakan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF MA mengatakan, dalam memutuskan sesat dan tidaknya sebuah paham, khususnya yang mengatasnamakan Islam, MUI mempunyai sedikitnya 10 kategori untuk menetapkan suatu paham dinyatakan sesat atau menyimpang dari ajaran Islam.

Ke-10 ciri aliran sesat tersebut adalah:
  1. Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam.
  2. Meyakini dan mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i Alquran dan sunah.
  3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran. Padahal, Alquran itu sudah habis masa turunnya sejak Nabi Muhammad Saw wafat.
  4. Mengingkari autentisitas (keaslian) atau kebenaran isi Alquran.
  5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir dan menafsirkan Alquran seenaknya sesuai hawa nafsunya atau kepentingan pribadi dan golongannya.
  6. Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam karena sunah itu merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam.
  7. Menghina, melecehkan, dan merendahkan para nabi dan rasul.
  8. Mengingkari Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir. Jika ada orang yang mengaku sebagai nabi, itu sesat.
  9. Mengubah, menambah, atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat Islam, seperti haji, shalat lima waktu, dan puasa Ramadhan.
  10. Mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i, seperti mengafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya dan mengaklaim hanya golongannya yang benar, yang lain sesat dan kafir.

Demikian 10 Ciri-Ciri Aliran Sesat - Menyimpang dari Ajaran Islam.

MUI Jabar Deteksi 44 Aliran Sesat
MUI Provinsi Jawa Barat mendeteksi 144 aliran atau ajaran menyimpang hingga sesat di wilayahnya sejak 2000.

Keberadaan ajarannya menyebar di sejumlah daerah tapi paling banyak ditemukan di Cirebon, Bogor, dan Bandung.

Menurut Sekretaris Umum MUI Jabar Rafani Achyar, dari 144 aliran menyimpang/sesat yang cukup menyita perhatian ialah aliran "Hidup di Balik Hidup", "Al -Quran Suci", "Surga Eden", "Milah Ibrahim", "Siliwangi Panjalu", "Lia Eden", dan "Al-Qiyadah Al-Islamiyah".

"Yang cukup menyita perhatian itu ada seorang warga Bandung bernama Sayuti. Dia seorang tukang cukur yang mengaku sebagai nabi," katanya seperti dikutip Antara.

Sumber: Republika, Antara

Larangan & Bahaya Sikap Sombong (Takabur)

Bahaya Sombong (Takabur)
SOMBONG atau takabur secara bahasa artinya membanggakan diri.

Dalam Kamus Bahasa disebutkan, takabur adalah merasa diri mulia (merasa hebat, merasa pandai, dsb); dama dengan pengertian angkuh dan sombong.

Sombong artinya menghargai diri secara berlebihan; sama dengan congkak dan pongah.
Menurut istilah, takabur atau sombong adalah sikap berbangga diri dengan beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang paling hebat dan benar dibandingkan dengan orang lain.


Dalam Islam, takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. (HR. Muslim no. 91)

Dosa Pertama & Sifat Iblis
Takabur adalah dosa pertama yang dilakukan iblis.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Karenanya, Islam melarang umatnya bersikap sombong.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS An Nisa: 36)

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Hadits tentang Kesombongan (Takabur)
Banyak sekali hadits Nabi Muhammad Saw tentang sombong, di antaranya terdapat dalam Shahihain (Kitab Bukhari Muslim) sebagai berikut:

1. Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. (HR. Muslim)

2. Barangsiapa memanjangkan pakaiannya (sehingga menyeret di tanah) karena kesombongannya maka Allah tidak akan memandangnya kelak pada hari kiamat. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya. (HR. Muslim)

4. Selagi orang berjalan dan merasa bangga dengan tutup kepala dan kedua baju rangkapnya maka tiba-tiba dia dibenamkan ke dalam tanah lalu dia bergelimang di dalam tanah sampai hari kiamat. (HR. Muslim)

Kitab-kitab hadits lain juga banyak memuat tentang larangan dan bahaya sikap sombong, di antaranya:

"Ada tiga perkara yang membinasakan yaitu hawa nafsu yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri" (HR. Ath-Thabrani dan Anas)

"Barangsiapa membanggakan dirinya sendiri dan berjalan dengan angkuh maka dia akan menghadap Allah dan Allah murka kepadanya" (HR. Ahmad).

Semoga kita dijauhkan dari sikap sombong, takabur, menolak kebenaran, dan merendahkan orang lain. Amin...! (http://www.risalahislam.com).*